Jakarta, Gatra.com – Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar?, Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H., menyampaikan, beberapa prediksi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia calon presiden-calon wakil presiden (Capres-Cawapres).
“Saya berpendapat ada beberapa kemungkinan serta varian putusan MK dalam perkara tersebut,” katanya pada Senin (16/10).
Ia menyampaikan, amar putusan untuk pengujian materiil, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan, antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan atau Pasal 12.
“Amar putusannya, 'Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima'. Kemungkinan berikutnya adalah dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum,” katanya.
Jika demikian, lanjut dia, MK dalam amar putusan menyatakan, "Menolak permohonan pemohon". Kemudian dalam hal pokok permohonan beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan pemohon sebagian atau seluruhnya.
Varian putusan selanjutnya, kata Fahri Bachmid, adalah dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusannya adalah mengabulkan permohonan pemohon.
“Yang terahir, dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2),” ujarnya.
Ia menjelaskan, jika mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara a quo, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan, Pertama; MK dalam putusannya akan penurunan batas usia capres-cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
“Kemungkinan kedua, adalah tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus, yaitu pernah menjabat atau menjadi kepala daerah dengan segala konsekuensi konstitusionalnya.
Ketentuannya, kata dia, dengan melihat 'experience' pengalaman. Putusan-putusan MK sebelumnya, termasuk MK pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Permohonan tersebut diajukan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, yakni Nomor 112/PUU-XX/2022. Amar putusannya, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.”
Menurutnya, hal itu secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
“Dengan demikian, dapat saja MK membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku, tetapi ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu,” kata.
Menurutnya, segala kemungkinan itu dapat saja terjadi dan jika itu terjadi maka dinamika pada internal Hakim MK akan terbelah, pastinya ada sebagian Hakim MK yang akan mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
“Ini tentu merupakan produk analisis saya yang bisa saja terjadi atau tidak juga terjadi,” katanya.
Ia menjelaskan, pandangan tersebut berdasarkan dalih bahwa MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Nomor: 29/PUU-XXI/2023, terkait uji materiil Undang-Undang Pemilu tentang batas usia capres-cawapres jika mengacu pada ketentuan Pasal 57 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan UU RI 7/2020, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2/2021 tentang Tata Beracara dalam perkara pengujian undang-undang.
Fahri Bachmid berpandangan demikian, meskipun ia berpendapat dan berprinsip bahwa pada hakikatnya MK tak berwenang untuk menetapkan norma terkait batas umur usia capres atau cawapres dalam tata norma hukum.
“Karena persoalan penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional yang didasarkan pada berbagai putusan MK telah meletakan kaidah open legal policy merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden,” katanya.
Menurut dia, pranata itu harus melalui proses legislation dan wetgeving, sehingga dengan demikian, persoalan tersebut harus diletakan pada konteks statutory rules sehingga harus dikembalikan pada konteks itu.