Hampir 15 (lima belas) tahun yang silam, negara ini pernah memiliki seorang wanita yang berhasil membawa PT Pertamina (Persero) pada urutan ke-122 perusahaan terbaik dunia versi Global Fortune 500. Hingga kini prestasi itu belum pernah dapat dicapai oleh perusahaan lain di Indonesia. Dialah Karen Agustiawan, alias Galalia Karen Kardinah.
Secara kebetulan, pertama kali saya mengenal Karen ketika bekerja di Bank Indonesia dan mendapat tugas belajar ke Dallas, Texas – Amerika Serikat untuk program Master of Laws (LLM) tahun 1991. Pada saat itu bertemu Karen yang sedang mendapat working assignment dari Mobil Oil Indonesia di Dallas.
Setelah diangkat menjadi Direktur Utama Pertamina perioda 2009 – 2014, saya perhatikan Karen melakukan banyak aksi korporasi. Di bawah kepemimpinannya, Pertamina menjadi sebuah perusahaan global di bidang migas. Selain membangun terminal regasifikasi, merevitalisasi dan merencanakan penambahan kapasitas kilang dll, dialah orang yang pertama kali mampu membawa Pertamina mengoperasikan sumur migas di luar negeri. Sehingga, tak heran namanya dikenal di dunia migas internasional.
Kini masa kejayaan Pertamina tersebut telah berubah menjadi hari kiamat atau doomsday. Aksi-aksi korporasi yang dilakukan oleh Karen dan jajaran direksi serta seluruh karyawan Pertamina pada saat itu telah “dikriminalisasi” sejak 2018. Sebagian besar direksi BUMN dan Swasta dalam maupun luar negeri, mengenal Karen sebagai figur dari seorang CEO yang profesional, kompeten, memiliki network yang luas, dan tidak berpolitik. Mungkin hal terakhir inilah yang menjadi penyebab mengapa Karen selalu dijadikan “pesakitan” setelah tidak menjabat lagi.
Saat ini, Karen dituding oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merugikan keuangan negara sebesar USD140 juta. Karen dituduh membuat kontrak pembelian LNG (Sales Purchase Agreement – SPA LNG) dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat pada tahun 2013 (Train 1) dan 2014 (Train 2) tanpa persetujuan Komisaris dan RUPS.
Tuduhan KPK ini terasa sangat lucu. Mengapa? Karena Karen sudah resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Direktur Utama Pertamina sejak 1 Oktober 2014. Dan, SPA LNG tahun 2013 dan 2014 tersebut sudah dibatalkan oleh SPA LNG tangal 20 Maret 2015 oleh Direktur Utama Pertamina pengganti Karen. Namun, KPK tetap bersikukuh mentersangkakan, mencekal dan menahan Karen dengan tuduhan SPA LNG tahun 2013 dan 2014 telah merugikan keuangan negara pada tahun 2020 dan 2021.
“Apa dasar KPK menuduh adanya kerugian negara tersebut?"
Menurut data Net Balance LNG Pertamina yang saya baca di media, bahwa kerugian akibat pembelian LNG dari CCL tahun 2020 – 2021 adalah USD107,1 juta. Jadi bukan USD140 juta seperti yang dituduhkan KPK.
Sementara, berdasarkan laporan "Audit Atas Neraca Gas dan Portofolio Bisnis LNG Pertamina" April 2020 disebutkan bahwa kerugiannya sebesar USD145 juta. Itupun bukan hanya dari CCL saja, tetapi juga dari Total, Eni Muara Bakau, dan Woodside. Semua SPA LNG itu, termasuk CCL, ditandatangani pada masa kepemimpinan Direktur Utama Pertamina pasca Karen Agustiawan. Ini aneh! Kenapa Karen masih dibawa-bawa?
Angka kerugian yang disebutkan KPK berbeda dengan Laporan Net Balance LNG dan Laporan Internal Audit Pertamina. Bukankah seharusnya KPK dalam menduga adanya kerugian negara, jumlah angka kerugiannya harus pasti dan nyata?
KPK juga nampaknya tidak cermat dalam menilai transaksi jual-beli yang masih berjalan. Karena transaksi pembelian LNG dari CCL ini memiliki durasi kontrak hingga 2040. Dari data yang saya baca di media, pendapatan penjualan kargo LNG dari CCL per akhir Juli 2023 mencapai USD2,30 Miliar dengan nilai keuntungan USD88,87 juta.
Artinya, bisnis LNG CCL ini sudah memberikan keuntungan setelah periode 2020 – 2021 saat terjadinya Pandemi Covid-19, dan keuntungan per Oktober 2023 mencapai USD89,542 juta. Prognosa keuntungan sampai 2030 tentunya akan semakin membesar, yaitu sekitar USD218,670 juta. Hal ini mengingat harga beli LNG CCL yang lebih murah ketimbang harga dari LNG seller lainnya, dan harga LNG pasca Pandemi Covid19 di pasar relatif tinggi.
KPK seharusnya menghitung keseluruhan potensi keuntungan dan kerugian selama periode kontrak sampai 2040, bukan hanya dibatasi pada periode 2020-2021 saja, tetapi harus fultoit (sempurna). Ini ada apa? Lagipula, bukankah seluruh volume cargo LNG ini dikelola atau dijual pada era Direktur Utama Pertamina pasca penandatanganan SPA LNG 2015 sampai sekarang?
“Seandainya pada Oktober 2018 Direksi Pertamina mampu mengelola volume LNG dan tidak melakukan kelalaian terkait hasil tender Trafigura, tentu Pertamina dapat menghindari kerugian. Lantas kenapa Karen yang disalahkan?”
Pertamina sebagai BUMN strategis negara sangat berkorelasi langsung dengan pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Dalam menangani kasus ini sebaiknya KPK memahami keseluruhan konteks, baik teknis, komersial maupun yang bersifat politis. Jangan sampai kasus ini merusak reputasi bisnis Pertamina ke depan, yang sudah dibenahi dan dibangun oleh Karen Agustiawan dan jajaran direksi lainnya serta sebelumnya. Pengkriminalisasian Karen Agustiawan akan dinilai publik dan dunia bisnis energi sebagai “Doomsday bagi BUMN (Pertamina): Untung atau Rugi Tetap Dipenjara!”
Dr. Zulkarnain Sitompul, SH., LLM.
Mantan Deputi Komisioner Bidang Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK)