Jakarta, Gatra.com - Pasangan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra disebut menjadi alternatif apabila Prabowo menemui deadlock untuk menentukan cawapresnya di ajang Pilpres 2024 nanti.
Namun, banyak pihak menilai bahwa posisi tawar PBB masih rendah lantaran partai tersebut merupakan non-parlemen. Sementara di Koalisi Indonesia Maju (KIM) terdapat partai-partai besar seperti Golkar, PAN, dan Demokrat, yang juga menyodorkan nama-nama lain untuk mendampingi Prabowo.
Meski begitu, pakar hukum tata negara dan konstitusi, Fahri Bachmid, punya pandangan lain. Mengingat kombinasi ideologi nasionalisme-Islam yang cukup mengakar di sejarah politik Indonesia, ia berpendapat bahwa Prabowo-Yusril akan cocok apabila mengusung platform politik ini.
Fahri membeberkan bahwa pada awal mula kemerdekaan Indonesia, terdapat tiga kekuatan politik besar. Ketiganya adalah nasionalisme, Islam, dan komunisme. Namun, pada tahun 1966, ideologi komunisme ditumpas oleh rezim Soeharto dengan keluarnya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Dengan demikian, dua kekuatan yang tersisa hingga saat ini adlaah nasionalisme dan Islam.
“Saya kira dengan demikian, maka komposisi capres dan cawapres, itu tidak terlepas dari anasir-anasir itu. Kalau yang satu nasionalisme, yang satu komponennya Islam. Itu saya kira secara politik tidak bisa dibantah hingga saat ini. Itu fakta sejarah dan sosiologis yang barangkali punya basis ontologisnya,” kata Fahmi di Jakarta, Sabtu, (14/10/2023).
Seperti diketahui, Partai Gerindra memiliki landasan politik utama, yaitu nasionalisme, di samping jati diri lainnya. Hal itu tertuang dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Sementara PBB yang menjadi besutan Yusril lebih condong ke nilai-nilai keislaman.
Menurut Fahmi, kombinasi ini bisa menjadi perpaduan yang cocok apabila menilik pada alur sejarah nasional. “Maka saya kira kombinasi ini mendapatkan tempat yang rasional kalau kedua komponen itu dibangun dengan asumsi demikian,” ujarnya.