Jakarta, Gatra.com - Terdakwa korupsi barang dan jasa di anak usaha Telkom Group, Heddy Kandou, mengaku sebagai korban kriminalisasi. Sebab, pihaknya merasa banyak kejanggalan dan ketidakadilan dalam pemeriksaan perkara No.85/Pid.Sus-Tpk/2023/PN. Jkt.Pst itu.
Hal ini ditegaskan pengacara Heddy, Otto Cornelis (OC) Kaligis. Menurut Kaligis, Heddy didakwa dengan dugaan tindak pidana korupsi, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Quartee Technologies, pada sekira tahun 2017 sampai dengan tahun 2018, dan disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1 ) Ke-1 KUHP. Padahal, kata dia, Heddy Kandou adalah swasta, dan bukan penyelenggara negara.
"Kejanggalan kedua, klien kami selaku mantan Direktur PT Quartee Technologies, dituduh terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang, yang merugikan anak perusahaan Telkom, sebesar Rp 200 miliar lebih, pada bulan April 2017, tetapi faktanya, klien kami telah secara resmi, mengajukan pengunduran dirinya sebagai Direktur PT Quartee Technologies, sejak 10 Februari 2017," ujar Kaligis kepada wartawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (13/10/2023).
"Bahkan jauh sebelum itu, yaitu akhir tahun 2016, Terdakwa (Heddy) telah menyampaikan secara lisan (perihal pengunduran dirinya) kepada Saksi Moch. Rizal Otoluwa," imbuhnya.
Sidang Heddy sendiri sudah masuk dalam agenda pembacaan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas keberatan kuasa hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Menurut Kaligis, Heddy mengundurkan diri agar dapat fokus pada bisnis kosmetik yang didirikannya pada tahun 2014, yaitu PT Haka Luxury.
"Setelah pengunduran diri tersebut, klien kami sudah tidak aktif dalam proses kegiatan PT Quartee Technologies. Sebagaimana Surat No. Ref.: L-022/II.17/QT-SF tanggal 22 Februari 2017 yang ditandatangani oleh Saksi Stefanus S. Gozali selaku Komisaris PT Quartee Technologies, yang menyetujui pengunduran diri Heddy sebagai Direktur Utama PT Quartee Technologies, dan untuk tugas dan tanggung jawab klien kami diambil alih oleh Saksi Stefanus S. Gozali dan Saksi Moch. Rizal Otoluwa," kata Kaligis.
Selain itu, lanjut dia, tidak ada satu pun dokumen kerja sama antara PT Quartee Technologies dengan anak usaha Telkom yakni PT Telkom Telstra, PT PINS Indonesia, ataupun PT Infomedia Nusantara, yang ditandatangani oleh Heddy.
"Sebagaimana surat dakwaan penuntut umum bahwa penandatanganan Kontrak Berlangganan (KB) antara Divisi Enterprise Service (DES) PT Telkom dan PT Quartee Technologies, adalah Saksi Moch. Rizal Otoluwa, bukan terdakwa (Heddy)," ucap Kaligis.
Adapun pengunduran diri Heddy sendiri, kata dia, secara resmi ditindaklanjuti dengan Akta No. 51 Berita Acara Rapat PT Quartee Technologies, tertanggal 16 Januari 2018, yang dibuat di hadapan Notaris Yendra Wiharja, notaris di Kota Tangerang. Dimana berdasarkan akta tersebut, susunan kepengurusan PT Quartee Technologies di antaranya Direktur Utama Moch. Rizal Otoluwa, Direktur Padmasari Metta, Komisaris Stefanus Suwito Gozali.
"Di samping itu, Ibu Heddy Kandou juga telah menjual seluruh saham miliknya di PT Quartee Technologies kepada Stefanus Suwito Gozali dan Moch Rizal Otoluwa. Terbukti terhitung sejak pengunduran dirinya sebagai Direktur Utama PT Quartee Technologies, Ibu Heddy Kandou tidak memiliki kapasitas dan kewenangan dalam proses kerja sama PT Quartee Technologies dengan pihak mana pun," papar Kaligis.
Terkait dengan tuduhan adanya aliran uang dari rekening PT Quartee Technologies ke rekening Heddy Kandou maupun PT Haka Luxury, yang diduga berasal dari hasil korupsi, Kaligis dengan tegas mengatakan, bahwa uang yang ditransfer itu adalah pembayaran hutang PT Quartee Technologies kepada Heddy Kandou dan juga PT Haka Luxury.
"Fakta lain ada pinjaman PT Quartee Technologies ke Maybank, yang menggunakan aset pribadi Ibu Heddy Kandou (rumah tinggal dan ruko) yang saat itu, sekalian PT Quartee Technologies meminta kepada Ibu Heddy Kandou, untuk bantu perpanjangan masa berlaku pinjaman. Di samping pinjaman ke Maybank, yang menggunakan aset Ibu Heddy Kandou tersebut, PT Quartee sering meminjam uang kepada Ibu Heddy Kandou dan keluarganya sejak sekitar tahun 2013," kata Kaligis.
Hal di atas dibuktikan dengan Akta Pengakuan Hutang melalui Notaris Yendra Wiharja, S.H., M.H, tanggal 26 April 2021, Nomor 74 dan Akta Pengakuan Hutang melalui Notaris Yendra Wiharja, S.H., M.H, tanggal 26 April 2021, Nomor 75.
“PT Quartee Technologies memiliki kewajiban pembayaran utang kepada Ibu Heddy Kandou sebagaimana dibuktikan dengan adanya Putusan Nomor 175/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst, tertanggal 5 Desember 2022, di mana Ibu Heddy Kandou tercatat sebagai salah satu kreditur dari PT Quartee Technologies (Debitur), dengan nilai utang sebesar Rp194.715.048.769,- namun di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum mendalilkan kerugian negara sebesar Rp236.171.580.669,- berdasarkan audit internal PT Telkom," kata Kaligis.
Ditambahkannya, dari keterangan dalam BAP Saksi Moch. Rizal Otoluwa selaku Direktur PT Quartee Technologies, sudah menyatakan uang yang ditransfer dari rekening PT Quartee Technologies ke rekening Heddy Kandou maupun PT Haka Luxury, adalah pembayaran hutang PT Quartee Technologies kepada Ibu Heddy Kandou dan juga PT Haka Luxury.
“Bahkan sekitar pertengahan tahun 2022, saat terjadi permasalahan hukum antara PT Quartee Technologies dengan PT Telkom. Saat itu Ibu Heddy Kandou meminta PT Quartee Technologies melakukan audit independen oleh kantor akuntan publik, yang menunjukkan bahwa PT Quartee punya kemampuan membayar hutang kepada Ibu Heddy Kandou dan keluarga, bukan dengan dana dari PT Telkom. Hal ini dikarenakan nama Ibu Heddy Kandou disebut-sebut, padahal Ibu Heddy Kandou adalah salah satu kreditur PT Quartee Technologies," papar Kaligis.
Di samping itu, setelah pengunduran diri Heddy, kata Kaligis kliennya sudah tidak aktif dalam proses kegiatan PT Quartee Technologies, termasuk proses kerja sama antara PT Quartee Technologies dengan PT Telkom Telstra, PT PINS Indonesia, ataupun PT Infomedia Nusantara.
"Ibu Heddy Kandou tidak pernah meminta pendanaan dari Divisi Enterprise Service (DES) PT Telkom. Terbukti tidak ada satu pun dokumen kerja sama yang ditandatangani oleh Ibu Heddy Kandou. Bahwa mencermati surat dakwaan dan berita acara pemeriksaan saksi-saksi, terbukti Saudari Padmasari Metta, yang justru sebagai pihak yang aktif dalam proses pengurusan dokumen-dokumen serta proses pelaksanaan proyek pengadaan barang antara PT Quartee Technologies dengan Divisi Enterprise Service (DES) PT Telkom, dan justru saat ini, dia masih berstatus sebagai saksi," kata Kaligis.
Menurut Kaligis, Padmasari diduga pelaku utama yang membuat dokumen proyek, membuat perjanjian sewa-menyewa diduga bodong tersebut. Sudah seharusnya, kata dia Padmasari ditetapkan sebagai tersangka utama dan diproses dalam perkara itu.
"Bagaimana mungkin kemudian Ibu Heddy Kandou dinyatakan sebagai tersangka dalam perkara a quo, bahkan saat ini didudukan sebagai terdakwa untuk sesuatu yang tidak dilakukan oleh Ibu Heddy Kandou, sedangkan Saudari Padmasari Metta diduga sebagai pelaku utama yang sangat aktif dalam proses pengurusan dokumen-dokumen serta proses pelaksanaan proyek pengadaan barang antara PT Quartee Technologies dengan Divisi Enterprise Service (DES) PT Telkom, justru saat ini masih berstatus sebagai saksi? Hal ini menunjukkan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam pemeriksaan perkara a quo," tandas Kaligis.
Diketahui, Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat menetapkan delapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi barang dan jasa senilai Rp236 miliar, di anak usaha Telkom Group. Dari delapan tersangka, sebanyak enam orang sudah berstatus terdakwa dan kasusnya mulai disidangkan. Dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa terjadi di tahun 2017.