Yogyakarta, Gatra.com - Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) berkomitmen untuk terus meneliti keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal ini ditandai dengan peresmian Gedung Moeso Suryowinoto Indonesia Biodiversitas Center (MSIBC) dan pemanfaatan teknologi terbaru terutama kecerdasan buatan.
Gedung tersebut diresmikan saat perayaan Dies Natalis ke-68 Fakultas Biologi UGM, Selasa (19/9). MSIBC berupaya melanjutkan misi mendiang Prof. Ir. Raden Mas Moeso Suryowinoto, pendiri laboratorium bioteknologi tumbuhan pertama di Indonesia pada 1974. Ia mendedikasikan diri dalam pengembangan bioteknologi tumbuhan melalui kultur jaringan. MSIBC juga akan dijadikan kantor bagi Center for Tropical Biodiversity (Centrobio).
Dekan Fakultas Biologi UGM Budi Setiadi Daryono, menjelaskan MSIBC akan menjadi pusat riset biodiversity tropis di Indonesia. Hal ini mengingat besarnya potensi keanekaragaman hayati yang belum diteliti.
"Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang paling besar di dunia dan diakui memiliki dua biodiversity hotspots dunia yakni Sundaland dan wallacea, yakni wilayah dengan spesies endemik yang melimpah dengan tingkat kepunahan tinggi," ujarnya.
Dalam pidato Dies Natalis, ia menjelaskan, aktivitas antropogenik merupakan penyebab utama kerusakan keanekaragaman hayati Indonesia selain faktor perubahan iklim yang juga menjadi pendorong kerusakan ekosistem global.
“Banyaknya kasus yang mengancam keanekaragaman hayati di Indonesia tentunya perlu upaya lebih lanjut untuk mencegah kegiatan antropogenik,” katanya.
Melimpahnya keanekaragaman hayati Indonesia menjadi sumber eksplorasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan umat manusia. Namun hal itu harus diiringi dengan upaya pelestarian yang berkelanjutan disertai pendataan yang lengkap, akurat, dan valid.
Budi menyebutkan teknologi metaverse, open science, big data analytics, bioinformatics, biotechnology dan teknologi AI potensial untuk menjawab upaya pengelolaan, pendayagunaan dan pelestarian sumber daya hayati.
Menurutnya, metaverse bisa menjadi media pembelajaran dan penelitian di bidang biologi yang akan terus berkembang dan menjadi daya tarik tersendiri khususnya bagi generasi milenial dalam mempelajari biologi.
“Perpaduan antara metaverse dan pembelajaran hayati akan mengantarkan Biologi menjadi bidang ilmu pengetahuan yang penting serta menjadi kunci dalam kajian dan eksplorasi biologi masa depan yaitu Deep Sea dan Exobiology yang didahului dengan pesatnya perkembangan Big Analytics dan Bioinformatika terkait keanekaragaman hayati pada saat ini,” ujarnya.
Teknologi AI juga bisa digunakan dalam perencanaan lingkungan, pengambilan keputusan dan pengelolaan berdasarkan algoritma otomatis sehingga dapat menjaga kualitas ekosistem.
Bahkan dalam konservasi margasatwa, AI juga dapat berperan dalam berbagai kegiatan seperti monitoring kesehatan ekosistem, mereduksi tingkat kontak dengan satwa liar, dan mencegah konflik satwa dengan masyarakat lokal melalui monitoring dan otomatisasi pengelolaan informasi.