Sukoharjo, Gatra.com – Penggunaan biogas di Dukuh Juron, Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, berkurang. Dari yang awalnya ada 12 rumah tangga penerima manfaat, kini hanya tersisa enam rumah tangga.
Diketahui, pada tahun 2020 lalu Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) telah memberikan bantuan berupa satu alat digester biogas ke Paguyuban Peternak di Dukuh Juron, Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
“Dulu awal-awal ada 12, kini hanya enam, karena pengolahannya tidak sesuai kapasitas,” ucap Ketua Paguyuban Peternak Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Sukoharjo, Widodo.
Karena berkurangnya kapasitas pengolahan biogas tersebut, sehingga penggunaan gas metan tidak maksimal. Sebab biogas tersebut tergantung dari kandungan gas metan, ketika kandungan gas metan banyak otomatis biogas yang dihasilkan juga banyak. Adapun pemanfaatnya, sekarang ini titik penggunaan biogas paling jauh berjarak sekitar 500 meter.
“Untuk biogas ini kalau kemarin kita punya kas sekarang sudah tidak punya, karena pembayaran dari teman-teman untuk biogas itu sekarang tidak cukup untuk membayar tenaga itu sendiri, sebulan Rp25 ribu,” terangnya.
Permasalahan lain juga muncul, kata Widodo, sejak pemberian bantuan tersebut, hingga kini belum ada solusi atas limbah Bio-slurry tersebut.
Bio-slurry atau ampas biogas merupakan produk dari hasil pengolahan biogas yang berbahan kotoran ternak dan air melalui proses tanpa oksigen (anaerobik) di dalam ruang tertutup.
Ketua Paguyuban Peternak Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Sukoharjo, ini mengatakan Bio-slurry merupakan hasil olahan dari limbah setelah gas metannya digunakan sebagai biogas.
“Kadang pemerintah sendiri memberikan bantuan, tetapi mereka tidak memberikan solusi bagaimana ketika limbah keluar harus bagaimana, itu tidak ada sama sekali,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, sebelumnya pembuangan limbah tersebut dibuang ke saluran limbah yang ada di lahan warga. Namun berjalannya waktu, warga membuat dua bak tempat penampungan limbah sedalam sekitar satu meter.
“Sebagian limbah kita buang ke sungai. Kita berani buang ke sungai karena ini limbah organik, jadi tidak memilik dampak pencemarannya,” jelasnya.
Baca Juga: Warga Genengsari Sulap Kotoran Sapi Jadi Biogas
Dia berharap agar segera ada solusi pengolahan dari Bio-slurry tersebut. Sebab dalam sehari saja keluar limbah sebanyak 60 meter kubik perhari.
Sementara itu, warga sekitar Waginem mengaku, sejak tiga bulan terakhir sudah tidak bisa menggunakan biogas. Dia tidak tahu permasalahan apa sehingga sumber energi tidak berfungsi. Padahal posisi rumahnya tepat berada di samping lokasi pengolahan.
“Sudah sekitar tiga bulan kalau dinyalakan tidak ngangkat apinya,” ungkapnya.