Jakarta, Gatra.com– Data dari Kementerian Kesehatan menyebut belanja fitofarma dan OHT (Obat Herbal Terstandar) tahun 2023 mencapai Rp 11,9 miliar yang berasal dari 103 rumah sakit (RS) pemerintah dan 118 dinas kesehatan.
“Belanja fitofarmaka dan OHT mencapai Rp 11,9 miliar di faskes pemerintah. Kemenkes berharap adanya peningkatan penggunaan fitofarmaka di fasilitas kesehatan,” kata Plt. Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Eka Purnamasari saat membuka “Workshop Fitofarmaka Bagi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis” dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (9/10).
Pada RS senilai Rp 2,6 miliar untuk fitofarmaka dan Rp 1,8 M untuk OHT. Sedangkan dari Dinkes sebesar Rp 6,3 M untuk fitofarmaka dan Rp 1,2 M untuk OHT.
Baca juga: Mengenal Fitofarmaka, Obat Tradisional yang Aman Dikonsumsi
Kemenkes sudah memfasilitasi adanya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) untuk fitofarmaka, sehingga Puskesmas bisa mengajukan RKO ke Dinkes setempat.
Ia menambahkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas telah mendorong peningkatan penggunaan produk dalam negeri melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022. Fitofarmaka merupakan produk dalam negeri yang penggunaannya harus ditingkatkan sebagai implementasi dari instruksi tersebut.
“Melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022, tentang percepatan penggunaan produk dalam negeri, Bapak Presiden sudah menegaskan kembali dukungan keberpihakan pemerintah terhadap penggunaan produk dalam negeri, termasuk fitofarmaka, yang merupakan produk unggulan hasil pengembangan obat bahan alam Indonesia yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji pra klinik dan uji klinik,” papar dia.
Baca juga : Formularium Nasional Fitofarmaka Diluncurkan, Daerah Didorong Gunakan di Sistem Pelayanan JKN
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 6/2022 sudah diterbitkan untuk pemanfaatan dana di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik pemerintah dalam penggunaan Fitofarmaka. Selain itu, fasilitas kesehatan juga bisa menggunakan dana alokasi khusus. Kemenkes juga telah membuka etalase fitofarmaka dan obat herbal terstandar dalam e-Katalog.
Dalam e-Katalog sektoral, Kemenkes sudah memfasilitasi melalui etalase Fitofarmaka dan OHT. Terkait ini, satuan kerja yang akan melakukan pengadaan, bisa langsung ke etalase tersebut.
Staf Khusus Menteri Kesehatan, Prof. Laksono Trisnantoro mengatakan, dengan fitofarmaka bisa diresepkan oleh dokter, maka terasosiasi dengan ciri obat modern dan diberikan setelah proses diagnostik. Namun fitofarmaka akan bersaing dengan obat ethical lainnya, terutama obat-obatan off paten.
Pendanaan fitofarmaka ada tier non-BPJS dan tier BPJS. Jika Indonesia bisa menganggarkan 5% dari GDP untuk kesehatan, ada potensi 2% dari Rp 16 ribu triliun atau sekitar Rp 320 triliun untuk kesehatan.
Baca juga: Kemenkes Anjurkan Dokter Meresepkan OMAI Fitofarmaka
Prof. Laksono mengungkap bahwa fitofarmaka memiliki khasiat setara obat. Maka dari itu Laksono menyatakan bahwa fitofarmaka sebenarnya dapat dibiayai oleh BPJS Kesehatan. "Pemanfaatan fitofarmaka bisa didanai BPJS Kesehatan," imbuh dia.
Kemudian, Ketua Tim Kerja Seleksi Fitofarmaka Kemenkes, Ninik Haryati menuturkan, pada UU Kesehatan pasal 1 dijelaskan bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat bahan alam, dan bahan obat bahan alam.
“Artinya untuk obat bahan alam tidak hanya dari tumbuhan tapi bisa hewan dan jasad renik. Penggolongan obat bahan alam, salah satunya adalah fitofarmaka,” jelasnya.
Terkait dengan kebijakan penyediaan obat tradisional, melalui Permenkes 6/2022 tentang Pemanfaatan Dana Kapitasi, Kemenkes telah meluncurkan Formularium Fitofarmaka yang dapat digunakan sebagai acuan penggunaan fitofarmaka di fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam formularium tersebut, ada lima fitofarmaka, salah satunya berkhasiat sebagai imunomodulator berbahan baku meniran.
“Tujuan disusunnya Formularium Fitofarmaka adalah menempatkan fitofarmaka yang terpilih dan menjadi acuan Dana Alokasi Khusus,” tuturnya.
Penerapan Formularium Fitofarmaka menggunakan Dana Alokasi Khusus dan Dana Kapitasi sesuai dengan kewenangan dan dapat digunakan di FKTP/Puskesmas dan juga Fasilitas Kesehatan Tingkat Rujukan / Lanjutan (FKTRL) seperti klinik utama atau yang setara.
Peneliti Penyakit dalam dan Infeksi FKKMK Universitas Gadjah Mada, Dr. Yanri Wijayanti menjelaskan ada beberapa bahan baku fitofarmaka yang meningkatkan daya tahan tubuh di antaranya echinacea, garlic, ginseng, dan meniran. “Saat ini yang sudah masuk formularium fitofarmaka adalah meniran,” katanya.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Profesor Reumatologi dan Obat Herbal RSUP Dr. Sardjito, Prof. Dr. dr. Nyoman Kertia, Sp.PD-Kr Finasim menanggapi, Komite Nasional Seleksi Fitofarmaka sedang mendorong masuknya fitofarmaka ke Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).
“Kami meminta bantuan teman-teman semua, Bu Ninik, untuk bisa sampai masuk ke puskesmas dan rumah sakit. Di Sarjito, dokter di bangsal sudah memberikan kepada pasien, artinya dokter menerima,” pungkasnya.
Baca juga: Presiden Apresiasi dan Dorong Produk OMAI untuk Penanganan Stunting
Meski demikian, obat-obatan fitofarmaka belum masuk Formularium Nasional program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal tersebut diungkapkan salah satu peserta workshop yang merupakan anggota Tim Ahli Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional, Prof. Taralan Tambunan.
"Kami selama ini sebagai anggota Formularium Nasional belum atau tidak pernah memasukkan salah satupun obat-obat fitofarmaka ini sebagai drug therapy pada penggunaannya secara rasional, jadi di Formularium Nasional kami belum pernah memasukkan sebagai terapi apakah itu antihipertensi atau antidiabetes," ujar Prof. Taralan.
Sementara itu, pada tahun 2015 sebenarnya Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PP PERDOSSI) pernah mengusulkan salah satu fitofarmaka masuk Formularium Nasional. Hal ini terungkap dari surat rekomendasi yang diterima wartawan.