Jakarta, Gatra.com- Korban kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan terkait surat izin usaha perdagangan (SIUP) dengan terdakwa Shirly Prima Gunawan kecewa atas penundaan pembacaan vonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sejatinya, vonis terhadap Shirly dibacakan Selasa, (26/9) lalu.
"Tiba-tiba pada 26 September kemarin itu putusan ditunda, padahal sudah tiga minggu bacaannya pasca pledoi yang tidak ada replik dan duplik," kata Kuasa hukum korban, Rizky Ayu Jessica, Martin Lukas Simanjuntak di Jakarta, Kamis, (5/10).
Martin mengatakan penundaan dengan alasan tidak jelas terindikasi kuat ada kode-kode senyap soal transaksi gelap. Namun, dia berharap hal itu tidak terjadi di negara hukum ini.
"Manakala saat ini kepercayaan publik terhadap penegakan hukum itu rendah, makanya ini tugas kita semua termasuk lembaga peradilan, jangan sampai ada transaksi-transaksi gelap menggunakan kode senyap yang merugikan hak hukum dan rasa keadilan bagi korban dan merugikan hukum itu sendiri," ungkap Martin.
Martin mengaku telah bersurat ke Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawal proses peradilan tersebut. Meski suratnya belum direspons, Martin berharap ada pemantauan agar tidak terjadi praktik-praktik transaksi hukum yang merusak nama baik peradilan dan menciderai rasa keadilan bagi korban dan pelapor serta menambah potret citra buruk hukum di NKRI.
Martin menaruh curiga dalam proses hukum kasus ini berawal saat terdakwa Shirly dikabulkan permohonannya menjadi tahanan rumah, tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu. Ditambah lagi, ada penundaan pembacaan putusan selama tiga pekan dari yang seharusnya Selasa, (26/9) menjadi Selasa, (10/10) mendatang.
"Oleh karena itu kami berharap KY dan Bawas yang kami surati bisa melakukan supervisi memantau, supaya putusan itu bukan putusan bebas, bukan putusan lepas ataupun putusan hukuman percobaan. Dan apabila yang terburuk terjadi kami sebagai kuas korban/pelapor meminta jaksa untuk mengajukan banding atau kasasi.
Sebelumnya, terdakwa membacakan pledoi atau pembelaan terakhir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, (5/9). Pledoinya meminta majelis hakim menolak tuntutan jaksa penuntut umum dan membebaskan terdakwa.
Jaksa tidak mengajukan replik atau jawaban dari pembelaan terdakwa. Namun, jaksa menyatakan menolak permohonan terdakwa dan masih tetap sama dengan tuntutan yang dibacakan sebelumnya, yakni dua tahun enam bulan penjara sesuai Pasal 378 KUHP tentang Tindak Pidana Penipuan. Menyusul itu, Majelis Hakim memutuskan akan membacakan putusan pada Selasa, (26/9).
"Setelah pembacaan pledoi ini, majelis hakim akan musyawarah dan pembacaan putusan diagendakan Selasa, (26/9)" kata majelis hakim pengganti hakim ketua Samuel Ginting dalam ruang sidang Prof. Dr. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro, Selasa, (5/10).
Kasus ini berawal dari adanya jaminan bisnis tas bermerek sebesar Rp18 miliar melalui surat pernyataan hutang yang akhirnya tidak terealisasikan pembayarannya. Terdakwa Shirly Prima Gunawan memberikan bilyet giro atau giro kosong atau ditolak oleh otoritas Bank.
Akibat tindakan terdakwa, korban mengalami kerugian sebanyak 17 tas branded dengan merek Dior, Hermes, Chanel dan lainnya sesuai yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Perkara Pidana Nomor 136/Pid.B/2023/PN. JKT SEL. Perkara ini menyebabkan korban mengalami kerugian secara materill dan imateriil.