Home Info Sawit IPOC Bakal Digelar di Nusa Dua. Ini Sederet Persoalan Sawit yang Akan Dibahas

IPOC Bakal Digelar di Nusa Dua. Ini Sederet Persoalan Sawit yang Akan Dibahas

Jakarta, Gatra.com - Makin ke sini, tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh industri kelapa sawit nasional semakin berat.

Di sektor hulu misalnya, industri sawit berhadapan dengan persoalan klaim kawasan hutan yang semakin tak jelas juntrungannya.

Sementara luas lahan kebun kelapa sawit yang diklaim dalam kawasan hutan itu tidak tanggung-tanggung, mencapai 3,4 juta hektar.

Dibilang tak jelas juntrungannya lantaran sampai sekarang, hak-hak petani kelapa sawit, khususnya peta plasma yang lahannya diklaim dalam kawasan hutan, tak kunjung mendapat kejelasan.

Padahal, ayat dua pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) telah jelas-jelas mengatakan bahwa masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan paling singkat lima tahun secara terus menerus dengan luasan lahan maksimal 5 hektar, akan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.

Itupun jika masyarakat dimaksud benar-benar berada pada kawasan hutan yang telah jauh-jauh hari telah dikukuhkan sesuai aturan main perundangan.

Sebab masyarakat baru dikatakan melanggar hukum bila mereka memasuki dan mengelola areal yang telah benar-benar berkekuatan hukum tetap.

Sementara kenyataan di lapangan, KLHK sama sekali tidak pernah bisa membuktikan kalau kawasan hutan yang disebut itu, telah benar-benar dikukuhkan, minimal, sesuai pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Meski pembuktian hukum itu enggak ada, KLHK tetap masih belum juga menjalankan ayat 2 pasal 11B tadi, padahal UUCK dimaksud sudah ada sejak tiga tahun lalu.

Oleh ketidakmauan inilah makanya, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang digagas oleh Presiden Jokowi sejak 2016 silam, melempem. Target 180 ribu hektar setiap tahun, cuma ada dalam mimpi.

Beda jika ayat 2 pasal 110B tadi segera dijalankan KLHK. Kebun-kebun sawit rakyat yang sudah masuk tahap peremajaan, dipastikan akan segera bisa diremajakan.

Sebab itu tadi, maksimal hibah dana PSR yang digelontorkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya untuk 4 hektar. Sementara lahan yang dimaksud pada ayat 2 pasal 110B tadi 5 hektar. Masih surplus 1 hektar.

Oleh ketidakmauan KLHK menjalankan aturan tadilah makanya kemudian banyak omongon yang berseliweran mengatakan bahwa KLHK benar-benar ingin membikin industri sawit di Indonesia, kiamat!

Gara-gara klaim kawasan hutan tadi tidak jelas, tentu akan teramat berdampak pada program keberlanjutan industri sawit yang telah menjadi keharusan pada 2025 mendatang.

Soalnya, mandatory keberlanjutan yang dinamai Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) itu, salah satu syaratnya adalah; kebun kelapa sawit tidak berada di dalam kawasan hutan.

Yang membikin para pelaku sawit makin pusing, mereka tidak tahu sertifikasi ISPO itu akan dibawa kemana dan apa epek positifnya bagi mereka.

Sebab sampai sekarang, pasal global belum mengakui sertifikasi itu, boro-boro akan jadi tameng untuk menghadapi Kebijakan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) itu. Sementara, untuk mendapatkan sertifikasi ini, biayanya tidak sedikit.

Makin gencarnya Aparat Penegak Hukum (APH) menyigi pelaksanaan PSR dan mandatori biodiesel meski duit untuk dua program ini bukan bersumber dari duit APBN, aturan ekspor yang ribet, menambah daftar panjang persoalan yang dihadapi industri sawit di dalam negeri.

Suka tidak suka, persoalan yang dihadapi industri sawit di dalam negeri ini, berdampak juga kepada jual beli produknya di tingkat global.

Persoalan ini malah dikemas secantik mungkin untuk menjadi bahan kampanye negatif oleh kelompok tertentu yang juga keberadaannya telah didisain.

Fluktuasi harga akibat geliat minyak nabati lain seperti rapeseed, soybean dan bunga matahari, menjadi persoalan tambahan yang dihadapi oleh para pelaku industri sawit di dalam negeri.

Meski ragam persoalan berat ini mendera, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) nampaknya tidak patah arang.

Organisasi yang mewadahi 731 dari sekitar 3000-an perusahaan kelapa sawit yang bertebaran di Nusantara ini, masih terus berupaya menemukan solusi agar industri sawit nasional langgeng dan sebisa mungkin berlari kencang.

Oleh keinginan itulah makanya pada tanggal 1-3 bulan depan, GAPKI akan kembali menggelar 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook (IPOC 2023) di Bali International Convention Center, Westin Resort, Nusadua Bali.

Acara yang mengusung tema "Enhancing Resiliency Amid Market Uncertainty" ini direncakan akan dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartanto.

Sederet menteri seperti; Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Perdagangan juga bakal hdari di sana untuk memberikan special address terkait kebijakan dan strategi pemerintah dalam meningkatkan daya saing industri kelapa sawit berkelanjutan.

Kemarin dalam konfrensi pers, Ketua pelaksana IPOC 2023, Mona Surya mengatakan bahwa animo orang untuk hadir di acara ini masih sangat tinggi.

Buktinya, sekitar 1500 peserta dari berbagai negara di penjuru dunia, telah menyatakan siap datang ke acara itu.

"Konferensi ini menawarkan analisis situasi pasar minyak nabati dunia sehubungan dengan peraturan global terkini dan dampaknya terhadap industri minyak sawit, kebijakan minyak sawit Indonesia dan perspektif pasar dari negara-negara importir minyak sawit," terang perempuan yang juga bendaraha umum GAPKI pusat ini.

Dia tidak sendirian dalam konfrensi pers itu, tapi ditemani oleh Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, Sekretaris Umum GAPKI, Hadi Sugeng, Pembina GAPKI, Joko Supriyono dan Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono.

Masih di acara nanti, situasi pasokan dan permintaan minyak sawit dunia, juga prospek harga untuk tahun mendatang kata Mona, bakal diulik oleh pembicara-pembicara ahli minyak nabati senior dunia; Thomas Mielke (Oil World), Nagaraj Meda (Transgraph) dan Dorab Mistry (Godrej International Ltd).


Abdul Aziz

50