Home Regional Dampak El Nino, Petani di Lombok Barat Sedot Air dari Sumur

Dampak El Nino, Petani di Lombok Barat Sedot Air dari Sumur

Lombok Barat, Gatra.com - Dampak elnino yang berkepanjangan saat ini sangat terasa bagi perputaran ekonomi masyarakat umumnya dan para petani kususnya. Mereka sangat terpukul akan ketersediaan air irigasi untuk suplay bagi tanaman kebutuhan pokok masyarakat seperti padi, jagung, kacang-kacangan, palwija, umbi-umbian dan lainnya. Semua itu berpotensi mengakibatkan gagal panen, jika kecukupan air tidak terpenuhi dengan baik.

Di Desa Lembar Utara, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat pada umumnya, ditemukan banyak hamparan sawah milik petani setempat hanya menyisakan debu, tanah pertanian banyak yang retak-retak karena sama sekali tak pernah tersentuh air. Air irigasi pertanian yang diharap tidak bisa banyak membantu. Disamping sejumlah aliran air sungai yang kecil, bahkan kering tidak bisa berharap terlalu banyak. Kecuali itu bendungan atau Dam Irigasi penampung air juga tidak tersedia di daerah, yang lebih dikenal dengan kawasan pelabuhan laut ini.

Sepanjang perjalanan dari Pelabuhan Lembar menuju Kota Mataram, banyak terpotret petani yang tengah mengairi lahan pertanian miliknya yang tandus, menggunakan sedotan air sumur memakai mesin hanya sekadar untuk mengairi sawahnya.

Salah seorang warga Desa Lembar Utara Amaq Rinamin (60) mengaku harus bersusah payah dari pagi hingga sore hari untuk mengairi lahannya, sebanyak lima petak yang masih ditumbuhi jagung setinggi mata kaki orang dewasa.

“Jika ini tidak dilakukan, akan berakibat vatal, dimana potensi layu dan kematian tanaman jagung akan sangat besar dan merugi. Kami merugi karena jika dibandingkan dengan harga bibit, pengolahan lahan produksi dan biaya tenaga kerja tidak sedikit harus dikeluarkan,” ujarnya, Selasa (3/10).

Petani yang hampir separuh hidupnya untuk bertani ini juga menyebut, biaya pengisian BBM yang setiap harinya harus dikeluarkan hingga Rp100 ribu. Dalam sebulan bisa dibayangkan cukup besar biaya keseluruhan yang dihabiskan, untuk pengairan saja. Belum lagi harus berpikir untuk biaya perawatan pemupukan hingga pasca panen.

Amaq juga harus memperhatikan tanaman lain, seperti sayur-mayur, padi kacang-kacangan. Ia merasa betapa susahnya petani saat ini menghadapi musim kemarau berkepanjangan yang juga belum ada tanda-tanda hujan akan turun.

Amaq masih bersyukur karena ada harapan lain yang bisa jadi penopang kehidupannya bersama anggota keluarganya. Ia mengaku memelihara unggas dan dua ekor sapi untuk bisa bertahan hidup dan keperluan pendidikan bagi anak-anaknya. 
“Kalau mendesak terpaksa harus dijual,” katanya.

Kesulitan air irigasi yang sama juga dialami Ramli, petani Kebon Reong, Desa Kuranji, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat. Ramli yang pernah lama sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di negeri Jiran Malaysia ini terpaksa harus mengambil air menggunakan mesin pompa, untuk mengairi tanaman padinya yang baru berumur seminggu. Jika tidak diairi, potensi kerugian hingga gagal panen sudah pasti akan terjadi.

“Tiap hari tanaman padi ini harus diairi. Beruntung sumur yang digalinya dengan kedalaman 12 meter masih banyak menyimpan air. Jika malam hari hingga pagi, air sumur bisa penuh, tapi nyaris habis karena digunakan untuk mengairi sawah,” tutur Ramli.

Ramli juga mengaku tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk memompa air. Menurutnya, rata-rata biaya dikeluarkan Rp100 ribu lebih untuk membeli 10 liter bensin setiap harinya. 

“Ini sangat lah ironi dengan kondisi saat ini dimana banyak petani membutuhkan biaya ekstra untuk pengolahan produksi tanamannya. Dampak Elnino musim kemarau berkepanjangan saat ini makin menambah biaya yang harus dikeluarkan,” katanya.

Ia berharap pemerintah dapat mencari solusinya agar kebutuhan air bagi petani tidak terlalu memberatkan.
 

343