Oleh: Maria Pakpahan*
Cerita rakyat yang tersohor dari Sumatra Barat saat saya masih anak-anak, dan bisa jadi saya duga masih dikenal generasi Z atau millennial. Cerita soal bagaimana seorang anak laki-laki yang durhaka terhadap ibunya, dan bersikap melukai hati sang ibu hingga akhirnya terkena kutuk akibat perilaku, membalas air susu dengan air tuba. Singkatnya demikian cerita si Malinkundang ini.
Mengapa tiba-tiba cerita ini terlintas di benak saya, karena ada faktor pemicu berita bagaimana ada partai politik yang konon pangsa kader yang diincar adalah kelompok anak muda di Indonesia. Walaupun sesungguhnya ya, lebih ke early middle age juga kalau dilihat pengurusnya, bahkan ada yang sudah masuk middle age memakai ukuran terbaru soal spektrum usia, berdasarkan kategori PBB dan bisa diceck sendiri, usia ketua Dewan Pembina dan pengurus partai 'Anak Muda'.
Ya sekedar branding, slogan dan belum tentu isinya mencerminkan jiwa muda, semangat kaum muda. Apakah kaum muda generasi Z dan juga millennial akan berselera dengan partai yang closed circuit, banyak hal ditentukan dan bisa dianulir oleh dewan pembina dan ketuanya tersebut? Justru suatu sikap kolot dan feodal. Lebih feodal dari perusahaan publik karena di perusahaan saja ada rapat pemegang saham dan ada mekanime yang lebih demokratis dibanding partai ini.
Kembali ke Malinkundang, bisa dilihat sendiri bagaimana perjalanan politik Presiden Joko Widodo dari Solo ke Jakarta hingga kemudian menjadi Capres di 2014 dan kemudian menang, memimpin Republik Indonesia dua periode. Lewat mesin politik PDI Perjuangan dan pendukungnya. Serta jangan sekali kali dilupakan, jangan pikun atau belagak pilon juga siapa lawan politik dalam kompetisi, di Pemilu 2014 and 2019 lalu.
Bisa dibilang dan tak dapat dipungkiri PDI Perjuangan adalah ibu politik Joko Widodo alias Jokowi. Jika belakangan ini sosok ini berkomentar bahwa putra bungsunya yang mendadak bukan saja masuk PSI tetapi juga dalam hitungan hari menjadi ketua umumnya, tentu membuat publik bertanya-tanya. Selorohan bahwa, kalaupun saya kasih tahu pasti tetap akan dijalankan, karena begitulah anak-anak saya, tidak juga merupakan apologi yang serta merta diterima publik dan juga netizen.
Dari selorohan di atas justru menunjukkan, ya memang ada pembiaran bahkan tidak ada upaya mensarankan agar putranya menahan diri misalnya. Sungguh upaya ngeles yang teraborsi dalam selorohan ini sendiri.Sejarah akan membuktikan ini.
Sebelum ada pemilihan (eh lebih tepat mungkin penunjukkan bukan pemilihan) ketua umum tercepat sedunia saya kira). Arisan RT saja ada pemilihan loh. Ini contoh soal betapa problematisnya urusan ketua umum tiban ini.
Soal yang lebih utama adalah sikap yg terlihat plintat plintut, mendua antara mendukung calon kandidat yang didukung PDI Perjuangan, rumah dan ibu politik Jokowi dan juga bersamaan ada sikap pembiaran, misleading seakan Prabowo juga pilihan bagi relawan-relawan Jokowi.
Hanya relawan-relawan yang menjunjung nilai-nilai dan bukan sosok personal, bukan kultus individu akan bersikap tegas menolak Prabowo yang merupakan lawan politik Jokowi dalam 2 Pemilu lalu.
Sungguh absurb bagaimana sosok yang merupakan lawan politik dalam kandidasi Pemilu Presiden 2014, 2019 itu dan kini digadang-gadang seakan segala catatan di 2014, 2019 tentang pelanggaran hak asasi, ketidakcakapan, kekonyolan dan lain-lain dalam sosok Prabowo Subianto (PS) menjadi alakazam... hilang, dan mendadak kinclong untuk 2024!
Hanya relewan-relawan Jokowi yang terkena amnesia atau kaum pembebek yang menerima narasi upgrade Prabowo ini, dan disinilah peran Jokowi dan keluarganya lewat anak-anaknya, harus dan perlu dicatat.
Bagaimana dan apakah ada upaya-upaya ikut mengkinclongkan persona Prabowo. Karena jika ini memang ada dan terbukti maka ini juga suatu sikap durhaka terhadap sikap PDI Perjuangan, karena pada saat yang bersamaan PDI Perjuangan sedang dan terus mempersiapkan Ganjar Pranowo (GP) sebagai Capres dari PDI Perjuangan.
Survey Libang Kompas periode 27 July-7 Agustus soal Efek Dukungan Jokowi terhadap Capres jelas menunjukkan, bagaimanapun Jokowi memiliki pengaruh. Elektabilitas Capres (Tanpa Dukungan Jokowi) untuk GP 34,1% dan untuk PB (31,3%). Dan angka ini berubah saat Elektabilitas Capres (Jokowi Mendukung Prabowo) maka angka untuk GP menjadi turun 30,5% dan untuk PS naik menjadi 35,1%.
Di sisi lain, survei yang sama juga menunjukkan bahwa GP sendiri sebenarnya didukung atau tidak didukung Jokowi tidak terlalu signifikan, jika tanpa dukungan Jokowi GP mendapat 34,1% dan jika Jokowi mendukung GP maka elektabilitas GP menjadi 34,9%, tidak terlalu signifikan. Survei ini sebagai indikasi bahwa jika Jokowi setengah hati mendukung GP hal ini tidak terlalu berpengaruh besar pada elektabilitas GP.
Menjadi soal, jika Jokowi terang-terangan mendukung Prabowo, entah lewat menutup mata terhadap kegagalan dan berantakannya proyek lumbung pangan/food estate yang dibawah koordinasi kementran pertahanan yang merupakan domain kerja PS, atau lewat sepak terjang putra biologisnya yang kini memimpin PSI yang belakangan ini kehilangan sikap kritisnya terhdapa PS. Sudah bisa ketawa-ketiwi bersama, dan juga tampaknya terkena amnesia atas rekam jejak Prabowo Subianto yang problematik ini.
Artinya, bisa dibilang jika saja Jokowi menghargai, dan tahu diri, maka tidak menjadi ahistoris terhadap rumah dan ibu politiknya. Paling tidak jika ada ganjelan, ada soal-soal yang perlu didiskusikan, Jokowi punya daya untuk membawanya ke rumah politknya. Adapun istilah petugas partai, setahu saya dari nomenklatur fungsionaris partai, dan karenanya mau tidak mau ada mandat, scope tugas dan disiplin -kode etik partai dalam lingkup petugas atau fungsionaris partai ini.
Di Perserikatan Bangsa-Bangsa ada juga istilah UN Officer dan bukan hal yang sembarangan, seperti juga posisi Sekretaris Jendral PBB. Mungkin hanya di Indonesia yang karena kebebasan berpolitik dibungkam lebih dari 30 tahun saat alam reformasi terbuka dan kini di era digital posisi petugas /officer/fungsionaris, seakan hal yang derogatory-tending to lessen the merit posisi petugas.
Mungkin karena berpuluh tahun KKN berkelindan, semua urusan bisa diselesaikan dengan cin cai, tidak perlu ada merit, keahlian dan saat ada orang yang ditugaskan partai menjadi calon Presiden dan menang, hebohlah dunia politik Indonesia yg kerap ahistoris ini. Maka petugas partai dianggap hal yang rendah. Salah kaprah ini yang kemudian diamplifikasi oleh semarak sosial-media.
Hal yang baik menjadi buruk dan hal yang buruk diamini. Contohnya ya itu, di atas bagaimana orang yang baru 2 hari menjadi nggota partai mendadak menjadi ketua umum partai. Jadi tidak ada kaderisasi, untuk apa juga ada jika ketua umumnya saja 'parachuting' dari luar partai.
Apakah akan ada sosok Malinkundang menuju Pemilu Capres 2024 ini, atau sudah ada indikasi menuju sikap durhaka, hanya saja masih sumir di mata publik? Publik tidak akan diam dan ada sikap kebajikan pulik soal mana yang kelaziman. Diamnya publik (karena yang ribut adalah para komentator politik, pengamat dan media) bukan berarti publik tidak mengamati, mencatat dan kemudian menghela nafas, menyayangkan kacang lupa kulit bahkan bisa menghukum seperti di kotak suara 2024 lewat suara rakyat di Pemilu 2024. Mari saksikan bersama-sama apakah memang Malinkundang in progress memang nyata atau sekedar cerita rakyat Nusantara.
* Koordinator Seknas Jokowi untuk UK di pemilu 2014 dan 2019 dimana Jokowi menang di Britania Raya.
Penulis dan mantan Ketua DPP Dewan Tanfidz Muktamar Semarang, di bawah kepemimpinan ketua Dewan Tanfidz Gus Dur.