Jakarta, Gatra.com – Ketua Satgas Air Susu Ibu (ASI) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Naomi Esthernita F Dewanto, SpA(K), mengatakan, pemberian ASI perdana atau ekslusif kepada bayi yang baru lahir memerlukan dukungan semua pihak.
Naomi dalam keterangan pers pada Jumat (29/9), menyampaikan, dukungan sangat diperlukan, khususnya bagi ibu menyusui yang bekerja. Pasalnya, mereka sering mengalami kendala karena keterbatasan waktu dan fasilitas untuk menyusui di tempat kerjanya.
ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi yang baru lahir. Kandungannya yang spesifik, sangat bermanfaat, mulai dari membantu mengurangi risiko alergi pada bayi, menunjang pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasan, hingga dapat menjadi sumber antibodi bagi bayi.
Ia mengungkapkan, hal itu menjadi salah satu bahasan yang disorot pada perayaan Pekan ASI Sedunia 2023 bertajuk “Enabling Breastfeeding: Making a Difference for Working Parents. Di Indonesia”, Kementerian Kesehatan menerjemahkan tema ini menjadi “Dukung Ibu Bekerja Tetap Menyusui”.
Merujuk data IDAI, lanjut dia, sebanyak 45% ibu berhenti menyusui karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu dukungan utama yang diperlukan ibu agar tetap dapat memberikan ASI pada bayinya adalah pemberian cuti melahirkan selama 18 pekan atau sekitar 4-5 bulan, dengan waktu ideal lebih dari 6 bulan. Ini diperlukan untuk memastikan ibu bisa menyusui anak secara maksimal.
Saat ini, Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan hak cuti kepada pekerja selama tiga bulan. Satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan setelah melahirkan. Tentunya, periode cuti ini tidak selaras dengan periode pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan.
IDAI menilai, masih tingginya ibu yang harus berhenti memberikan ASI pada anaknya setelah melahirkan disebabkan oleh multifaktor. "Hal itu terjadi karena kurangnya dukungan keluarga, dukungan tenaga medis, hingga karena harus kembali bekerja,” kata Naomi.
Ia mengungkapkan, salah satu faktor terbesar yang membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASI kepada bayi adalah karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selesai. Karena itu, perlu dukungan yang besar untuk ibu agar bisa menyusui anaknya secara maksimal dan dukungan terbesar diharapkan didapat dari tempat kerja.
Keterbatasan dukungan menyusui di tempat kerja, kata Naomi, membuat banyak ibu berhenti menyusui lebih awal. Padahal, wanita membutuhkan waktu dan dukungan cukup dari lingkungannya agar bisa tetap menyusui dengan optimal.
“Cuti yang cuma 3 bulan itu bisa berakibat tingkat ibu menyusui rendah. Ibu yang kembali bekerja terlalu dini dapat memberikan efek negatif terhadap berlangsungnya masa menyusui. Hal ini tentu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan,” ujarnya.
Selain memberikan cuti yang lebih baik, dr Naomi juga mendorong perusahaan untuk bisa menyediakan ruang laktasi yang memadai. Dengan begitu, ibu bisa menyusui atau memompa ASI dengan nyaman dan aman.
Dukungan itu tidak hanya waktu atau jeda bekerja untuk memompa ASI, tetapi bisa berupa penyediaan ruangan laktasi untuk menyusui atau untuk memompa ASI. Dukungan fasilitas tersebut harus bersih, nyaman, aman, dan private untuk ibu.
Berdasarkan data studi kualitatif terkait implementasi kebijakan ramah menyusui di pabrik, kesuksesan dukungan program laktasi di tempat kerja, terutama pabrik di Indonesia memang masih rendah dan hanya mencakup standar penyediaan ruang laktasi minimal tanpa ada dukungan fasilitas pendamping, apalagi dukungan program dan promosi laktasi.
Meskipun demikian, studi narrative review yang dipublikasikan di “The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM)” tahun 2022 menunjukkan bahwa dukungan kebijakan ramah laktasi di perkantoran sudah meningkat signifikan.
Bahkan di beberapa perkantoran multinasional, lanjut dia, tercatat adanya dukungan cuti melahirkan hingga 6 bulan serta keberadaan konselor laktasi di tempat kerja yang sudah menjadi standar aturan ketenagakerjaan bagi seluruh karyawan.
Praktisi Kesehatan Komunitas dan Kedokteran Herja dari Health Collaborative Center, Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK., menyampaikan, selain kedua tantangan di atas, masalah lainnya adalah masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung bahwa dukungan fasilitas, kebijakan, dan promosi laktasi di tempat kerja adalah investasi dan bukan cost atau pembiayaan.
“Salah satu faktor penting di Indonesia dalam melindungi pemberian ASI Eksklusif adalah terkait kebijakan-kebijakan perlindungan ASI Eksklusif di lingkungan kerja,” ujar Ray.
Mengutip expert judgement di editorial “The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM)” edisi 2023, dr. Ray menegaskan bahwa bukti klinis terkait dampak dukungan laktasi terhadap produktivitas pekerja sebenarnya telah tersedia tetapi belum diedukasikan dengan optimal ke perusahaan, sehingga diperlukan suatu pedoman sederhana untuk meyakinkan tempat kerja bahwa investasi laktasi di perusahaan akan memberikan return of investment.
Meskipun peraturan dukungan untuk ibu menyusui masih membutuhkan penguatan, beberapa perusahaan telah melakukan inisiatif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Contohnya perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA).
“APPNIA menyadari pentingnya manfaat ASI Eksklusif dan dan nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan, serta mendukung ibu, khususnya yang bekerja, agar dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayinya," ucap Poppy Kumala, Direktur Eksekutif APPNIA dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Anggota APPNIA terus memperkuat kebijakan dan melakukan berbagai program untuk memastikan hak-hak karyawan dan anak terpenuhi, agar orangtua baru dapat membersamai bayinya melalui pemberian cuti melahirkan berbayar selama 3 bulan sesuai aturan, bahkan ada yang memberikan sampai selama 6 bulan bagi karyawan perempuan, dan juga cuti bagi ayah.
Selain itu, penyediaan ruang laktasi yang memenuhi syarat di tempat kerja, dukungan nutrisi bagi ibu menyusui, hingga edukasi dan pendampingan tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan, serta beberapa perusahaan anggota APPNIA juga menyediakan layanan Employee Assistance Program (EAP) berupa layanan konsultasi virtual dengan psikolog untuk mendukung karyawan terkait masalah pribadi, psikososial,dan pekerjaan.
Anggota APPNIA telah berkontribusi secara aktif dalam upaya percepatan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan akan terus berkomitmen mendukung upaya peningkatan status gizi dan kesehatan ibu dan anak di Indonesia.
“Kami sadar bahwa gizi yang baik di awal kehidupan anak akan menciptakan anak Indonesia yang sehat, tangguh, cerdas, serta terbebas dari stunting,” Poppy mengungkapkan.
Oleh karena itu, lanjut dia, salah satu bentuk komitmen pihaknya dalam menyukseskan ASI Eksklusif adalah melalui penyediaan ruang laktasi yang memenuhi syarat pada kantor dan pabrik perusahaan anggota APPNIA.
Harapannya, inisiatif dalam bentuk kebijakan dan program yang telah diterapkan dalam perusahaan anggota APPNIA dapat membantu para karyawan yang sedang hamil dan menyusui agar dapat memberikan ASI eksklusif secara optimal.
Poppy menyampaikan, perlu kolaborasi dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, para ahli, sektor swasta maupun masyarakat agar program ASI Eksklusif bisa berjalan maksimal.
Sejatinya, dalam Pasal 83 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha diwajibkan memberikan peluang yang layak kepada karyawan wanita dengan bayi yang masih menyusu. Peluang itu di antaranya adalah dengan membangun fasilitas ruang laktasi bagi karyawan perempuan untuk menyusui di tempat kerja dan waktu untuk menyusui selama kerja sesuai dengan aturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
APPNIA optimistis dengan tersedia ruang laktasi yang layak, terbukti berhasil meningkatkan produktivitas pekerja wanita yang kembali berkarier setelah cuti hamil. Keberadaan ruang laktasi ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas karyawan dan perusahaan.
“APPNIA sepenuhnya mendukung program ASI eksklusif, pemberian sarana dan fasilitas layak untuk ibu memerah ASI,” kata Poppy.