Jakarta, Gatra.com - Pembangunan proyek Ibu Kota Negara (IKN) masih mendapat penolakan dari sejumlah pihak, terutama karena insentif-insentif yang pemerintah Indonesia janjikan untuk investor asing. Salah satu aktivis yang kerap menggaungkan penolakan atas proyek IKN adalah ahli tata ruang dan ilmuwan Jilal Mardhani.
"Saya konsisten pada pertanyaan dasar IKN ini. Kita sebetulnya tidak pernah mendapatkan gambaran yang jelas (dalam hal) alasan yang sebenarnya, memindahkan IKN itu apa sih?" kata Jilal Mardhani dalam acara diskusi kebijakan politik "IKN dan Perubahan HGU Investasi ala Kolonial" yang diselenggarakan Narasi Institute secara daring pada Jumat (29/9).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 mengatur mengenai perizinan berusaha, kemudahan berusaha, fasilitas penanaman modal; pengawasan; dan evaluasi bagi pelaku usaha di Ibu Kota Nusantara, tercatat ada beberapa insentif yang akan diterima investor. Misalnya, Hak Guna Usaha (HGU) yang bisa diperpanjang sampai 190 tahun melalui 2 siklus.
"Itu kebijakan menurut saya terlalu berlebihan lah karena kita sendiri merdeka baru 78 tahun," ucap Jilal.
PP 12 Tahun 2023 juga memiliki aturan, bebas pajak penghasilan (PPh) Badan sampai 100 persen untuk perusahaan asing yang memindahkan badan kantornya ke IKN dengan syarat penanaman modal di IKN minimal Rp 10 miliar. Insentif bebas PPh 100 persen berlaku untuk 10 tahun awal dan jika diperpanjang PPh berkurang menjadi 50 persen.
Selain itu, terdapat juga insentif berupa bebas PPN dan pajak penjualan barang mewah atau PPNBM saat membeli rumah atau kendaraan listrik yang terdaftar di IKN. Lalu, Izin rumah tapak dan rumah susun paling lama 80 tahun.
"Lalu banyak hak-hak dari masyarakat adat dan sebagainya yang belum kita bereskan administrasinya yang saya kira akan terikut di dalam hak-hak yang akan ditawarkan kepada investor," kata Jilal lagi.
Ia menilai, insentif ini merupakan pengorbanan-pengorbanan yang semakin hari semakin berlebihan.