Jakarta, Gatra.com – Dewan Pengawas Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas, Dhitta Puti Sarasvati, mengatakan, sangat berlasan kalau sejumlah pegiat menilai ada sesuatu yang disembunyikan dari Rapor Pendidikan (Rapendik) Indonesia 2023 yang baru saja diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendibudristek).
Dhitta dalam keterangan pada Jumat (29/9), menyampaikan, kecurigaan tersebut sangat mendasar karena tidak dibukanya data kemampuan dan kompetensi literasi dan numerasi siswa Indonesia sehingga menuai kritik.
Kemendikbudristek dianggap tidak transparan dan tidak menunjukkan fakta apa adanya. Akibatnya Rapendik itu dinilai hanya untuk menyenangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dhitta mengatakan, harusnya Kemendikbudristek menunjukkan secara gamblang tentang indikator literasi apa yang sudah baik dan belum. Standar minimum itu harus dijelaskan di atas minimum itu apa artinya. Dengan demikian, publik bisa menilai seberapa kemajuan capaian kompetensi literasi dan numerasi siswa Indonesia saat ini.
“Rapendik ini sangat tidak transparan. Tidak ada indikator penilaian literasi dan numerasi yang dipublikasikan sehingga publik juga tidak bisa menilai apakah Rapendik ini bisa menjawab darurat literasi yang sedang melanda Indonesia. Ada ketidakjujuran dalam penyusunan laporan tersebut karena masih ada yang disembunyikan,” kata Dhitta.
Dalam Rapendik tersebut, dilaporkan pada jenjang SD sebanyak 61,53% murid memiliki kompetensi literasi di atas minimum, naik 8,11 dari 2021 (53,42%). Dalam kompetensi numerasi, sebanyak 46,67% murid memiliki kompetensi numerasi di atas minimum, naik 16,01 dari 2021 (30,66%).
Sedangkan pada jenjang SLTP sebanyak 59,00% murid memiliki kompetensi literasi di atas minimum, naik 7,63 dari 2021 (51,37%). Dalam kompetensi numerasi, sebanyak 40,63,% murid mesebanya kompetensi numerasi di atas minimum, naik 3,79 dari 2021 (36,84%).
Adapun di jenjang SMA, sebanyak 49,26% murid memiliki kompetensi literasi di atas minimum, turun 4,59 dari 2021 (53,85%) dan untuk kompetensi numerasi sebanyak 41,14% murid memiliki kompetensi numerasi di atas minimum, naik 5,98 dari 2021 (35,16%).
Menurut Dhitta, publik membutuhkan fakta-fakta tentang kemampuan murid Indonesia secara lebih detail. Apa saja kemampuan anak Indonesia di bidang literasi, bagaimana pemahaman bacaannya, dan seterusnya. Ada banyak indikator literasi yang mesti diketahui agar publik juga bisa ikut serta dalam melakukan perbaikan.
Dia berharap, dengan biaya Rp80,22 triliun yang disediakan APBN untuk Kemdikbudristek sepanjang 2023, seharusnya laporan ini bisa lebih transparan. “Tanpa transparansi laporan Rapendik Tahun 2023 ini tidak berguna sama sekali bagi publik dan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Data-data yang disajikan dalam Rapendik hanya untuk memuaskan para pejabat semata,” ujarnya.
Rapor Pendidikan Indonesia 2023 diketahui melibatkan 267.381 sekolah dan madrasah di seluruh provinsi di Indonesia. Rapendik melibatkan 246.430 kepala sekolah, 3.259.877 guru dan 6.649.311 murid.
Ada 11 indikator utama yang dinilai, yaitu kemampuan literasi murid, kemampuan numerasi murid, karakter, iklim keamanan sekolah, iklim inklusivitas sekolah, iklim kebinekaan sekolah, kualitas pembelajaran, penyerapan lulusan SMK, kemitraan dan keselarasan SMK dengan dunia kerja, presentasi PAUD terakreditasi minimal B, dan Angka Partisipasi Sekolah.
Rapor Pendidikan merupakan hasil evaluasi sistem pendidikan yang dinilai berdasarkan hasil belajar murid, proses pembelajaran, pemerataan kualitas layanan, kualitas pengelolaan sekolah, dan kualitas sumber daya manusia yang terlibat di sekolah.
Rapor Pendidikan berasal dari hasil Asesmen Nasional (AN), Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sistem pendataan pendidikan yang dikelola Kementerian Agama (EMIS), Badan Pusat Statistik (BPS), aplikasi untuk guru dan tenaga kependidikan (seperti PMM, ARKAS, dan SIMPKB), Badan Akreditasi Nasional (BAN), serta Tracer Study (khusus data jenjang SMK).
Pengamat pendidikan dari Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji, mengatakan, Rapendik ini menjauhkan upaya bangsa ini untuk meningkatkan Human Capital Indeks (HCI).
“Tidak adanya data kompetensi literasi dan numerasi murid dalam Rapendik ini, kita sulit membandingkan berapa skor kompetensi murid Indonesia dengan skor murid di negara maju,” katanya.
Padahal, lanjut dia, tingkat kompetensi murid Indonesia akan sangat menentukan skor HCI Indonesia. Yang nantinya diprediksi bakal bertolak belakang dengan hasil Rapendik ini adalah PISA 2022 yang tidak akan lama lagi diumumkan.
“Faktanya kualitas pendidikan Indonesia semakin turun. Baru beberapa minggu yang lalu, saya membahas kondisi anak-anak SMP Negeri di Jawa Barat yang tenyata belum bisa membaca,” kata Indra.
Saat ini, tahun 2020, skor HCI Indonesia 0,54%. Artinya, produktivitas dari setiap anak yang lahir hanya mencapai 54% dari kapasitas idealnya. Skor ini sangat jauh dari skor negara lain seperti Singapura, Jepang, Korsel, Australia dan China. Posisi HCI Indonesia berada pada tingkat 96 dari 173 negara.
“BPK mestinya mengaudit kinerja Kemendikbud Ristek tidak hanya dari sisi anggaran saja tetapi juga dari sisi kinerja sehingga apa yang dianggarkan oleh pemerintah berbanding lurus dengan hasil dan capaian kinerjanya,” ujar Indra.