Home Kolom Ketahanan Pangan Saat Peningkatan Pemanasan Global

Ketahanan Pangan Saat Peningkatan Pemanasan Global

 

 

Oleh: Jahja B Soenarjo*

Meningkatnya pemanasan global mengakibatkan kemarau yang berkepanjangan di berbagai belahan bumi. Khususnya di negara dua musim, termasuk Indonesia. Ini berpotensi menjadi bencana masif yang berkelanjutan, yang kemudian dapat melemahkan ketahanan ekonomi akibat naiknya harga pangan serta melambatnya laju pertumbuhan beberapa sektor. Masyarakat akan memprioritaskan belanja pangan daripada yang lain.

Sejumlah alternatif bahan pangan menjadi perbincangan, wacana lawas yang kembali digulirkan. Namun saat ini perlu aksi grrak cepat yang instan untuk merealisasikan. Lahan untuk bahan pangan kita sesungguhnya sangat besar, mau singkong, jagung, sorghum hingga rumput laut. Yang terakhir ini didorong untuk hilirisasi secara komprehensif oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Juni 2023 (https://setkab.go.id/presiden-jokowi-dorong-hilirisasi-rumput-laut/)

Rumput laut memang dapat menjadi salah satu alternatif yang lebih cepat karena secara alami sudah banyak dan tersebar di sejumlah daerah di negara kelautan ini, termasuk pesisir selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, belum termasuk Sulawesi dan Maluku. Yang mengolah secara tradisional pasti tidak sedikit, namun yang sadar ini menjadi pangan alternatif yang baik mungkin sedikit, karena bisa jadi beranggapan kurang sehat, kurang mengandung gizi dan vitamin.

Rumput laut yang diolah menjadi agar-agar atau di Jepang populer disebut ‘kanten’, sejatinya dikenal hampir di seluruh dunia sebagai sumber daya alam laut yang memiliki sejumlah turunan produk. Indonesia memiliki sejumlah industri yang mengolah menjadi agar-agar, sebut saja merek “Swallow” yang sudah diekspor ke banyak negara lengkap dengan resep menunya. Paling sederhana ketika memasak agar-agar dicampur dengan buah2an untuk menjadi pemanis, perisa sekaligus vitamin. Bahkan dicampur dengan kelor pun dapat ikut membantu pencegahan stunting.

Singkong, jagung dan sagu juga menjadi alternatif pangan yang potensial. Semua alternatif ini memerlukan teknologi dan modal, bisa besar bisa kecil, tergantung pada skala dan tempatnya. Bila dikembangkan secara kluster di daerah-daerah rawan pangan tentu akan lebih baik serta meningkatkan ketahanan pangan setempat, tidak semata bergantung pada beras.

Kehadiran Pemerintah dari tingkat Pusat hingga daerah amat sangat dibutuhkan, bermitra dengan swasta dan sektor akademik untuk mengintensifkan riset dan penelitian tepat guna. Pendekatan ‘Pentahelix’ hendaknya tidak dilupakan, dan menghindari eskalasi harga pangan sebagai komoditi berita politik di musim kontestasi Pemilu dan Pilpres ini.

KADIN, APINDI, HIPMI, GAPMMI, CBFI, juga sejumlah komunitas dan organisasi non-politik lain seperti INTI, PSMTI, FGBMFI, atau apapun, dapat bergerak secara kolaboratif-inklusif dalam ekosistem Pentahelix tersebut, untuk secara konkrit berkontribusi dalam bentuk apapun demi ketahanan pangan bangsa dan negara ini. Bukan hanya untuk saat ini, namun dapat menjadi proyek tanpa akhir, karena ledakan populasi harus diimbangi dengan ketersediaan pangan yang baik.

Salam kolaborasi !


*Ketum CEO Business Forum Indonesia