Sukoharjo, Gatra.com – Tragedi pembunuhan dialami dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, Wahyu Dian Silviani. Orangtua almarhumah rela menempuh jarak lebih dari 1.000 kilometer (Km) dari Kota Mataram ke Sukoharjo untuk mencari keadilan atas meninggalnya sang anak.
Kedatangan ayah almarhumah, Prof Moh Hasil Tamzil, bersama istri, Abdiah, ke Polsek Gatak didampingi pengacara keluarga, Dr. Gema Akhmad Muzakir pada Senin (25/9/2023). Mereka berangkat dari Kota Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB) menuju Bandara Internasional Lombok, menaiki pesawat menuju Bandara Djuanda. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kereta api menuju Stasiun Solo Balapan.
Setelah ketiganya turun dari kereta, menunaikan ibadah salat, tanpa istirahat menuju ke Polsek Gatak Sukoharjo, tempat di mana kasus kematian anaknya diselidiki dan kini sudah masuk ranah penyidikan.
Usai dari Polsek Gatak dan Polres Sukoharjo, Abdiah bersaksi bahwa sang anak, almarhumah Wahyu Dian Silviani merupakan pribadi yang sangat baik, sopan, santun, pendiam, hormat kepada orang tua, dan menaruh hormat kepada siapapun tanpa memandang status sosial.
Dia menuturkan, Dian, sapaan sehari-hari alamrhumah, tidak pernah berkata kasar, tidak pernah menyakiti apalagi sekelas tukang. Bahkan setiap harinya, almarhumah memberikan makanan dan minuman, meski mereka dibayar dengan sistem borongan lepas.
"Saya selalu ingatkan ke Mbak Dian, 'ini musim panas belikan tukangnya makanan dan minuman'. Apa yang saya kasih tahu ditunaikan sama dia," ucapnya Senin (25/9/2023).
Terkait pembunuhan yang menimpa sang anak, Abdiah tidak terima dan tidak rela, sang anak yang sudah menjadi korban pembunuhan namun masih saja menerima fitnah dari pelaku.
Selain itu, dia juga mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam hal ini Polsek Gatak maupun Polres Sukoharjo, apa yang dikatakan pelaku dijadikan dasar menuju Pasal 340 KUHP terkait pembunuhan berencana.
"Caci maki [dari korban] itu tidak pernah ada, makian korban itu tidak pernah ada. Karena pada Senin tanggal 21 Agustus 2023 [waktu di mana pelaku mengaku menerima cacian] itu korban Mbak Wahyu, ada seminar di kampus dan biasanya dia berangkat kerja antara pukul 07.30 sampai pukul 08.00, apalagi kalau ada acara, pasti dia lebih pagi lagi," ungkapnya.
Dari kebiasan itu, naluri Abdiah sebagai ibu dan diperkuat pernyataan saksi yang merupakan teman satu kampus korban bahwa almarhumah tidak mungkin pada tanggal tersebut bertemu dengan pelaku.
"Bukti bahwa Mbak Dian pada hari itu tidak di lokasi ada saksi hidup teman-temannya, juga CCTV, ini yang kami minta sebenarnya dari pihak kampus, tapi belum dikasih. Kami akan berkirim surat ke kampus. Mbak Dian kampus pada saat itu, dan tidak bertemu pelaku," terangnya.
Sementara itu, ayah korban, Prof Moh Hasil Tamzil berharap pihak kepolisian mengusut tuntas kematian sang anak.
"Kami sebagai orang tua dan keluarga, semoga keadilan benar-benar berpihak kepada kami. Keadilan itu dapat kami rasakan. Artinya tuntas, jangan sampai persoalan ini selesai hanya sampai pembunuh sudah ditangkap, tapi di balik juga di balik itu," harapnya.
Pengacara keluarga korban, Dr. Gema Akhmad Muzakir, menyampaikan, pihaknya betul-betul berharap kepolisian serius menangani kasus kematian almarhumah Wahyu Dian Silviani.
"Karena kan betul-betul menusuk hati keluarga yang ada di Lombok. Kami jauh-jauh datang ke Solo ini untuk menyampaikan pesan ini kepada kepolisian untuk serius," ungkapnya.
Bahkan, tanpa mengurangi rasa hormat Kapolsek Gatak, dia meminta, supaya kasus ini bisa diambil alih oleh Polres Sukoharjo atau Polda Jawa Tengah.
"Karena ini menyangkut kematian nyawa orang, dan nyawa orang ini bukan orang pinggiran dan betul-betul nyawa pendidik dan berpendidikan, bukan orang yang ditemukan di kolong jembatan," tandasnya.