Pristina, Gatra.com – Konflik Kosovo dan Serbia kembali memanas beberapa pekan terakhir. Kasus perbatasan di kedua negara Balkan itu yang konflik terkait masalah etis, kembali mencuat.
Setelah Kosovo menutup perbatasan utamanya dengan Serbia. Serbia dilaporkan mempersiapkan barikade dan militer untuk mengantisipasi perang dengan negara yang merupakan bekas provinsinya itu.
Reuters, Minggu (24/9) melaporkan, kejadian terbaru yakni penyerbuan biara di Kosovo utara telah menarik perhatian pada masalah yang terus-menerus terjadi di wilayah mayoritas etnis Serbia, pasca 15 tahun, setelah Pristina –ibukota Kosovo-- mendeklarasikan kemerdekaan.
Berikut fakta mengenai kerusuhan tersebut.
Apa yang terjadi dibalik gesekan?
Kemerdekaan Kosovo yang mayoritas etnis Albania terjadi pada 17 Februari 2008, hampir satu dekade setelah pemberontakan gerilya melawan pemerintahan Serbia yang represif.
Hal ini diakui oleh lebih dari 100 negara.
Namun Serbia secara resmi masih menganggap Kosovo sebagai bagian dari wilayahnya. Mereka menuduh pemerintah pusat Kosovo menginjak-injak hak-hak etnis Serbia, namun membantah tuduhan memicu perselisihan di negara tetangganya.
Suku Serbia berjumlah 5 persen dari 1,8 juta penduduk Kosovo, dan etnis Albania sekitar 90 persen. Sekitar 50.000 warga Serbia di Kosovo utara, di perbatasan dengan Serbia, melampiaskan penolakan mereka dengan menolak membayar utilitas negara atas energi yang mereka gunakan, dan sering menyerang polisi ketika hendak ditangkap.
Semuanya menerima manfaat dari anggaran Serbia dan tidak membayar pajak baik ke Pristina maupun Beograd --ibukota Serbia.
Persoalan memburuk?
Kerusuhan di wilayah tersebut meningkat ketika wali kota etnis Albania mulai menjabat di wilayah mayoritas Serbia di Kosovo utara, setelah pemilu April yang diboikot oleh Serbia --sebuah tindakan yang menyebabkan AS dan sekutunya menegur Pristina.
Desember lalu, warga Serbia Kosovo Utara mendirikan beberapa penghalang jalan dan terjadi baku tembak dengan polisi setelah seorang mantan polisi Serbia ditangkap karena diduga menyerang petugas polisi lainnya, yang sedang bertugas pada protes sebelumnya.
Namun ketegangan telah meningkat selama berbulan-bulan dalam perselisihan mengenai pelat nomor mobil. Kosovo selama bertahun-tahun menginginkan warga Serbia di utara untuk mengganti pelat nomor Serbia mereka, yang berasal dari era pra-kemerdekaan, ke pelat nomor yang dikeluarkan oleh Pristina, sebagai bagian dari kebijakannya untuk menegaskan otoritas atas seluruh wilayah Kosovo.
Juli lalu, Pristina mengumumkan jangka waktu dua bulan untuk peralihan pelat, sehingga memicu kerusuhan, namun kemudian setuju untuk menunda tanggal penerapannya ke akhir tahun 2023.
Walikota etnis Serbia di kota-kota bagian utara, bersama dengan hakim setempat dan 600 petugas polisi, mengundurkan diri pada bulan November tahun lalu sebagai aksi protes atas peralihan yang akan terjadi, sehingga memperparah disfungsi dan pelanggaran hukum di wilayah tersebut.
Apa yang mereka inginkan?
Masyarakat Serbia di Kosovo berupaya membentuk asosiasi kota-kota yang mayoritas penduduknya Serbia, dan beroperasi dengan otonomi yang besar.
Pristina menolak hal ini sebagai konsep untuk mendirikan negara kecil di Kosovo, yang secara efektif membagi negara berdasarkan garis etnis.
Serbia dan Kosovo hanya mencapai sedikit kemajuan dalam hal ini dan isu-isu lainnya sejak berkomitmen pada dialog yang disponsori Uni Eropa pada tahun 2013, yang bertujuan untuk menormalisasi hubungan – yang keduanya merupakan persyaratan keanggotaan UE.
Peran NATO dan Uni Eropa?
Aliansi militer transatlantik NATO mempertahankan 3.700 tentara penjaga perdamaian di Kosovo, sisa dari pasukan awal berkekuatan 50.000 yang dikerahkan pada tahun 1999.
Aliansi tersebut menyatakan akan melakukan intervensi sesuai dengan mandatnya jika Kosovo menghadapi risiko konflik baru. Misi EULEX Uni Eropa (UE), yang dimulai pada tahun 2008 untuk melatih polisi dalam negeri dan memberantas korupsi dan gangsterisme, mempertahankan 200 petugas polisi khusus di Kosovo.
Rencana perdamaian UE terbaru?
Utusan AS dan UE mendesak Serbia dan Kosovo untuk menyetujui rencana yang diajukan pada pertengahan tahun 2022, yang menyatakan bahwa Beograd akan berhenti melakukan lobi terhadap kursi Kosovo di organisasi internasional termasuk PBB.
Kosovo akan berkomitmen untuk membentuk asosiasi kota-kota yang mayoritas penduduknya Serbia. Dan kedua belah pihak akan membuka kantor perwakilan di ibu kota masing-masing, untuk membantu menuntaskan perselisihan yang belum terselesaikan.
Namun perundingan mengenai normalisasi hubungan antara dua bekas musuh masa perang itu terhenti pekan lalu, dan Uni Eropa menyalahkan Perdana Menteri Kosovo Albin Kurti karena gagal membentuk asosiasi kotamadya.
Kurti, yang setuju bahwa asosiasi semacam itu seharusnya hanya memiliki kekuasaan terbatas yang keputusannya dapat ditolak oleh pemerintah pusat, menuduh mediator Uni Eropa memihak Serbia untuk menekannya agar menerapkan hanya satu bagian dari kesepakatan tersebut.
Presiden Serbia tampaknya siap untuk menyetujui rencana tersebut, dan memperingatkan kaum nasionalis yang 'bandel' di parlemen bahwa Beograd akan menghadapi isolasi yang merugikan di Eropa.
Namun dengan kekuatan kelompok nasionalis garis keras di kedua belah pihak, termasuk di kalangan warga Serbia di Kosovo utara, tidak mencapai terobosan yang bisa dilakukan.
Pertaruhan bagi Penduduk Lokal Serbia ?
Wilayah Kosovo utara yang merupakan mayoritas orang Serbia, perpanjangan tangan dari Serbia. Pemerintah daerah dan pegawai negeri, guru, dokter, dan proyek infrastruktur besar dibiayai oleh Beograd.
Warga Serbia setempat khawatir bahwa setelah terintegrasi penuh di Kosovo, mereka akan kehilangan manfaat seperti layanan kesehatan publik gratis di Serbia dan terpaksa menggunakan sistem layanan kesehatan swasta di Kosovo.
Mereka juga khawatir dana pensiun akan lebih kecil, mengingat rata-rata dana pensiun bulanan di Kosovo bernilai €100 (US$107) atau sekitar Rp 1,5 juta dibandingkan dengan €270 di Serbia.