Jakarta, Gatra.com – Ajang pagelaran musik Indonesia Music Expo (IMEX 2023) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang bekerja sama dengan event organizer (EO) lokal Lokaswara telah digelar di Puri Lukisan Museum di Ubud, Bali pada 21-24 September 2023.
Event yang mengambil tema “A Paradise for World Music” itu menghadirkan sejumlah musisi, grup, dan pelaku seni. Di antaranya Eta Margondang, Sako Sarikat Ras Muhammad feat Indonesian National Orchestra, Sora Compro Gamelan Selonding, Rindik Pinggitan Chandra Irawan Ethnic Jazz Band Orasare, Marinus Kevin & The Local Elite, Uyau Moris Pepe Pepe Baine, dan Papua Vocal Ensemble.
Pagelaran yang diikuti oleh peserta dari berbagai daerah dengan anggaran miliaran rupiah itu dikelola oleh EO milik Frangki Raden selaku musisi senior. Sayangnya event tersebut tidak hanya menyisakan tepuk tangan dan riuh penonton, tetapi juga muncul kritik dan kekecewaan dari penikmat acara.
Tak hanya itu, sejumlah pengisi acara dari daerah juga mengungkapkan kekecewaannya kepada panitia terkait masalah penginapan, makanan dan pelayanan yang ala kadarnya. Salah seorang peserta IMEX 2023 yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluhkan sound system acara yang jelek dan kurangnya pelayanan yang merugikan peserta.
“Salah satu pelayanan buruk panitia, tidak tersedianya logistik yang layak, hanya berupa nasi kotak dan bahkan kadang harus beli sendiri, minum pun beli sendiri,” ucap salah seorang peserta dari NTT.
Padahal pentas tersebut tidak hanya dinikmati oleh warga lokal, tetapi juga warga Indonesia dari berbagai penjuru juga turis yang ada di Bali. “Sayang sekali ya event ini jadi kacau, padahal memakai uang negara,” ucapnya.
Kritik juga datang dari pemerhati musik dan pembina Sora “Sound of Heritage” Wibisono. Ia menyampaikan sejumlah kekecewaan dengan pentas musik yang membawa nama Indonesia ini. Salah satunya pemilihan tempat yang tidak sesuai dengan event musik, tidak ada stage atau panggung layaknya pagelaran musik, dan penonton yang lesehan dengan alas duduk dan kursi ala kadarnya.
“Selain itu, kasihan anak anak diperlakukan tidak profesional. Contohnya, sound system yang jelek dan bermasalah dengan akomodasi dari penjemputan di bandara dengan mobil yang terbatas. Sehingga, kita menyewa mobil sendiri, penginapan yang sekamar bertujuh orang, dan enggak layak secara kenyamanan,” kata Wibisono.
Ia berharap, pemerintah melalui Kemendikbudristek tidak mengulangi kesalahan serupa dan menunjuk EO yang profesional dalam pementasan musik. Ia menyarankan event tersebut diaudit secara transparan karena tidak adanya pengawasan dari pihak Kemendikbud, sehingga wanprestasi mudah terjadi. Wibisono juga mengkritik penutupan event dengan musik ala DJ seperti suasana klub malam.
“Saya dulu juga punya event organizer yang bertaraf nasional, saya tahu persis anggaran dan eksekusi kegiatannya, sayang banget uang negara dihambur hamburkan begitu aja, dan tidak sesuai eksekusinya dengan anggaran miliaran rupiah padahal event ini full memakai uang negara,” pungkasnya.