Jakarta, Gatra.com – DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) memberikan pembekalan kepada advokat angotanya mengenai ketentuan dan mekanisme penyelesaian berbagai persoalan atau sengketa terkait pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Ketua DPC Peradi Jakbar, Suhendra Asido Hutabarat, dalam sambutannya pada webinar “Penyelesaian Sengketa Pemilu” yang dihelat secara daring pada Rabu (20/9), mengatakan, Pemilu 2024 tidak menutup kemungkinan melahirkan berbagai sengketa.
Atas dasar itu, lanjut dia, advokat dari DPC Peradi Jakbar harus mengetahui hukum acara dan ketentuannya agar bisa mendampingi jika diminta klien. Karena itu, pihaknya memberikan pembekalan kepada advokat DPC Peradi Jakbar.
“Kita sudah mulai proses lagi [pemilu], ini juga yang menyebabkan animo begitu tinggi karena kita akan memasuki tahap pemilu yang akan kita segera jalani,” ujarnya.
Dalam webinar yang diikuti ratusa orang advokat ini, DPC Peradi Jakbar menghadirkan dosen dan praktisi hukum Dr. Heru Widodo, S.H., M. Hum., untuk mengupas tuntas penyelesaian berbagai masalah atau sengketa yang timbul dari Pemilu 2024.
“Sistem peradilan pemilu berbeda dengan sistem pada umumnya, yakni pidana, perdata, tata usaha negara, dan hukum tata negara,” katanya.
Dalam sistem peradilan pemilu juga terdapat perbedaan antara pelanggaran dan sengketa. Pelanggaran sebagaimana praktik dan UU Pemilu No 7 Tahun 2017 dibedakan menjadi empat, yakni pelanggaran administrasi, pidana, TSM, dan kode etik.
“Adapun sengketa ada tiga, yakni administrasi, TUN Pemilu, dan hasil pemilu. Administrasi dan TUN Pemilu satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Jadi tidak akan ada sengketa TUN Pemilu tanpa ada sengketa administrasi,” ujarnya.
Heru menjelaskan, dengan demikian, sebelum seseorang atau penggugat mengajukan gugatan ke Peradilan TUN sebagai sengketa TUN Pemilu, harus mengajukan sengketa administrasi. “Itu sengketa yang berantai. Kalau langsung ke TUN Pemilu dipastikan tidak dapat diterima,” ujarnya.
Heru menjelaskan, lembaga peradilan hukum yang menengani perkara pemilu berbeda-beda alias tidak di bawah satu peradilan. Untuk pelanggaran administrasi, lanjut dia, di antaranya ditangani oleh Bawaslu.
“Misal soal dugaan pelanggaran anggota KPU, kemudian dari hasil pemeriksaan Bawaslu menyatakan ada pelanggaran, Bawaslu langsung menyampaikan kepada KPU untuk dieksekusi,” ucapnya.
Begitupun untuk pelanggaran pidana, itu semuanya harus melalui Bawaslu (Gakumdu) yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim PN, dan hakim banding. Dengan demikian, seluruh pelanggaran administrasi, pidana, dan TSM harus melalui Bawaslu.
“Kecuali kode etik. Kode etik bisa melalui Bawaslu, baru ke DKPP atau langsung ke DKPP. Untuk pelanggaran pidana, sepintas hanya ada sampai tingakt banding, tidak ada kasasi dan PK. Kalau kasasi dipastikan tidak dapat diterima dan tidak akan ada register dari PN. Kemudian juga PK,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, sengketa terkait pemilu, di antaranya mengenai administrasi itu bisa terjadi antarpeserta pemilu atau peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. Persoalan ini diselesaikan di Bawaslu.
“Apabila di Bawaslu itu terbukti ada kesalahan, misal ada perbuatan anggota KPU melanggar prosedur atau melawan hukum, itu Bawaslu langsung memutus dan harus dilaksanakan KPU,” ucapnya.
Sebaliknya, kalau Bawaslu menolak, lanjut Heru, baru dapat diajukan sebagai sengketa TUN Pemilu dan diselesaikan oleh PTUN. Putusan PTUN final dan mengikat alias tidak ada lagi upaya hukum.
“Agak berbeda dengan Pilkada, lembaga peradilan yang diberi kewenangan adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,” katanya.
Ia mengungkapkan, entah kenapa ada perbedaan, karena UU yang lebih dahulu mengatur, yakni melalui UU Pilkada Tahun 2015 dan 2016. Setelah itu baru diikuti UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. “Putusan Pengadilan Tinggi TUN bisa diajukan kasasi ke MA,” katanya.
Lebih lanjut Heru menyampaikan, dalam penyelesaian sengketa pemilu terkait administrasi diselesaikan di Bawaslu dan Bawaslu mengabulkan, maka Bawaslu akan memerintahkan KPU untuk melaksanakan.
“Putusan Bawaslu ini final dan mengikat hanya bagi KPU. Sistem peradilan kita ini menyimpan bom waktu,” ujarnya.
Sedangkan kalau Bawaslu menolak, baru peserta pemilu bisa mengajukannya sebagai sengkata tata usaha negara pemilu di PTUN. Kalau ada sengketa administrasi langsung diajukan ke PTUN, sudah dapat dipastikan tidak dapat diterema karena dihitung dari putusan Bawaslu tenggang waktunya.
“Kemudian sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK). Prosedurnya singkat,” ujarnya.
Heru memberikan contoh sengketa administrasi mengenai partai politik (Parpol) calon peserta pemilu ketika mengikuti pendaftaran di KPU. Ada Parpol yang sudah lolos ke DPR dan memenuhi ambang batas parlemen atau parliamentary treshold (PT), ada parpol lama dan belum punya anggota di DPR, dan parpol baru dan tidak mempunyai anggota DPR.
“Semua kategori partai itu harus mendaftarkan diri dan semuanya harus melalui verifikasi administrasi. Bedanya, Parpol yang punya wakil di DPR hanya verifikasi administasi, pendaftaran, tanpa verifikasi faktual. Sedangkan Parpol lama dan tidak duduk di Senayan, selain verikasi administrasi dan juga faktual,” katanya.
Ia lantas mencontohkan kasus Partai Prima yang menempuh langkah hukum ke PN Jakarta Pusat (Jakpus). Pengadilan kemudian mengabulkan gugatannya terhadap KPU. Amar putusannya adalah memerintahkan KPU menghentikan tahapan Pemilu dan membuat jadwal baru dari awal. “Tapi ini sudah dianulir,” ujarnya.
Partai yang tidak lolos ketika akan mengajukan sengketa adminstrasi, itu harus melalui Bawaslu. Ketika Bawaslu mengabulkan maka harus langsung dilaksnakan oleh KPU. Contohnya Partai Ummat, mengajukan sengketa administrasi ke Bawaslu, kemudian dalam proses ajudikasi dikabulkan Bawaslu sehingga KPU mau tidak mau harus menetapkan Partai Ummat sebagai parpol peserta Pemilu 2024.
Beda halnya dengan Partai Prima. Ketika dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak lolos, dia tidak mengajukan permohonan sengketa administrasi ke Bawaslu, tetapi mengajukan atau membuat laporan pelanggaran administrasi.
“Bedanya, ketika yang ditempuh adalah laporan atas pelanggaran administrasi dan kemudian Bawaslu mengabulkan ada pelanggaran yang dilakukan oleh KPU, KPU diperintahkan untuk memperpanjang masa perbaikan persyaratan dalam verifikasi administrasi.
“Ketika ada perpanjangan dan KPU sudah melaksanakan, maka hasil perpanjangan itu dinyatakan tidak dapat lolos sebagai peserta pemilu,” katanya.
Atas dasar itu, Partai Prima mengajukan sengketa administrasi ke Bawaslu atas tidak lolosnya pada tahap perbaikan. Bawaslu tidak mau menerima lagi karena tidak lolosnya Partai Prima dari hasil verikasi di perpanjangan, itu merupakan tindak lanjut atau pelaksanaan dari putusan pelanggaran yang diterbitkan Bawaslu.
“Maka Bawaslu tidak meregister sebagai sengketa administrasi. Artinya bahwa atas pelaksanaan putusan Bawaslu sebelumnya, karena ada pelanggaran ketika pelaksanaan putusan itu tetap merugikan, tidak membuat parpol itu lolos, itu tidak bisa lagi menjadi sengketa administrasi pemilu. Oleh karena tidak bisa atau ditolak,” ujarnya.
Lantas ketika Partai Prima mengajukan sengketa pascaperpanjangan, itu tidak dapat diterima, yakni karena tidak bisa diajukan sebagai sengketa pemilu di PTUN. Dengan demikian, ketika Bawaslu tidak mau menerima permohonan sengketa administrasi, dengan hanya bersurat bahwa permohonan tidak dapat diregister. “Bukan ditolak, ada perbedaan tidak diterima dengan ditolak,” ucapnya.
Kemudian, surat tidak dapat diregister itu dijadikan dasar gugatan TUN Pemilu oleh Partai Prima ke TUN Jakarta. Hasilnya, PTUN Jakarta menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena satu dan lain hal, atau pokok perkara adalah tindak lanjut yang telah diputus oleh Bawaslu.
Menurutnya, hal tersebut yang perlu dicermati. Nanti ada penetapan bakal calon tetap peserta Pemilu pada 5 November 2023. Kemungkinan ada caleg yang enggak lolos. Kalau mau mengajukan sengketa administrasi ke Bawaslu, kemudian dikabulkan, maka dia menjadi lolos.
Sebaliknya, kalau dia melaporkan pelanggaran administrasi kepada Bawaslu, atas putusan misalnya ditolak atau tidak terbukti, maka putusan Bawaslu itu tidak bisa diajukan sebagai sengketa Pemilu TUN ke PTUN.
Ia berpesan kepasa sesama advokat, seandainya mendapat klien atau diminta tolong bakal caleg harus cermat, yakni apakah akan menempuh sengketa administrasi atau sengketa laporan pelanggaran administrasi. Perbedaanya tidak terlalu kentara, tapi dasar-dasarnya berbeda antara pelanggaran administrasi dengan sengketa administrasi.
“Konksekuensinya kalau pelanggaran administrasi, kemudian putusan Bawaslunya menyatakan menolak laporannya bukan merupakan upaya administrasi atau bukan merupakan syarat mengajukan gugatan TUN Pemilu di PTUN,” katanya.
“Sistm ini telah memakan korban dalam tanda kutip. Parpol yang tidak lolos pendaftaran, ada yang tidak lolos verifikasi administasi, dan yang tidak lolos verifikasi faktual,” ujar advokat yang kerap menangani perkera sengketa hasil pemilu di MK tersebut.