Jakarta, Gatra.com - Komnas Perempuan ungkap ada problem Infrastruktur dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Permasalahan infrastruktur ini membuat korban dan pelapor sulit untuk mengakses aparat penegak hukum (APH), terutama dalam hal waktu tempuh dan biaya yang harus dikeluarkan.
"Kejadian menjadi alasan bagi korban untuk menggunakan mekanisme penyelesaian kasus yang lebih dekat, yaitu mekanisme adat atau lembaga agama," ucap Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam acara "Launching Laporan Nasional Hasil Pemantauan Pelaksanaan Mekanisme Keadilan Restoratif dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Gender" melalui daring, Selasa (19/9).
Siti juga mengungkapkan, ketidakmerataan penempatan APH perempuan, termasuk Polwan, di semua wilayah ikut memperparah keadaan. Kerja sama pemerintah pusat dengan unit daerah untuk menangani kasus-kasus yang ada juga mendapat tantangan serius.
"Tantangannya adalah pengetahuan tentang keadilan restoratif dan keterampilan mediasi belum dimiliki secara merata oleh awak lembaga pelayanan masyarakat dan pimpinan adat belum mendapatkan penguatan kapasitas," jelas Siti.
Kondisi ini pun dibenarkan oleh salah satu narasumber yang berasal dari Wamena, Papua. Proses mediasi kerap mendapat tantangan karena adanya perbedaan budaya dan karakter masyarakat.
"Tapi, ada alasan juga korban tidak mau lapor hukum positif. Hukum positif biasanya minta surat nikah, kalau visum bayar lagi. Jadi, mungkin juga masalah pembiayaan sehingga lebih banyak dibicarakan di hukum adat dibanding di hukum positif," ucap Siti membacakan hasil pemantauan dalam paparan.
Berdasarkan data yang diambil dari sembilan provinsi di seluruh Indonesia ini, Siti juga menitikberatkan pada rentang waktu pengambilan data yang dilakukan sebelum Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diresmikan. Hal ini dinilai penting ketika dibandingkan dengan data mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah ditangani kepolisian.
Dalam laporan, tercatat ada 65 kasus yang ditangani kepolisian. Mayoritas adalah kasus KDRT ringan yang dialami oleh istri, yaitu sebanyak 45 kasus.
Selanjutnya, ada 10 kasus pelecehan seksual, tiga kasus perkosaan, dan tiga kekerasan dalam pacaran (KDP) secara fisik. Kemudian, satu KDP secara seksual, dua KDRT yang dialami oleh anak, serta satu kasus kekerasan seksual siber.
"Ini menjadi catatan kami, tapi ini memang sangat dimungkinkan, terutama karena tidak ada bantahan yang tegas dalam mengecualikan kasus kekerasan seksual pada khususnya perkosaan," ucap Siti lagi.
Ia mengatakan, temuan tim pemantauan ini seharusnya menjadi catatan untuk mengawasi penerapan UU TPKS kelak.