Jakarta, Gatra.com - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dalam riset terbarunya mengungkapkan bahwa upaya Pemerintah untuk memenuhi ambisi hilirisasi nasional, pembangunan PLTU di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantan Utara berisiko meninggalkan jejak kerusakan ekologis dari hulu ke hilir.
Peneliti CELIOS, Fiorentina Refani mengatakan, kerusakan tersebut berasal dari proses ekstraktif, proses produksi, hingga distribusinya. Pasalnya, bahan mentah yang menyokong industri di KIHI adalah hasil penambangan yang menggerus kelestarian pulau-pulau lain, terutama nikel.
Menurutnya, pembangunan megaproyek itu mengarahkan Kalimantan Utara dalam pusaran bencana ekologi.
“KIHI cenderung mendorong adanya deforestasi, pengerukan laut, cemaran limbah panas air bahang, abrasi pantai, penghancuran sumber-sumber air serta kelola pertanian secara lokal, hingga hilangnya berbagai biodiversitas,” kata Fio dalam keterangan resmi pada Kamis (14/9).
“Sangat disayangkan kebijakan China menghentikan seluruh pembangunan PLTU captive untuk smelter aluminium dalam negeri ternyata hanya menggeser krisis ke negara-negara tetangga yang memiliki bahan baku serta regulasi lebih lemah dalam perlindungan sosial dan lingkungan hidup. Pembacaan akumulasi dampak KIHI tidak bisa dengan batasan temporal-spasial sebab ia melewati batas-batas administratif kenegaraan,” ungkapnya.
Sementara itu peneliti CELIOS Atinna Rizqiana, juga menyadari bahwa peran pemerintah dalam mewujudkan komitmen net zero cukup besar. Oleh karena itu, komitmen serius yang dibarengi dengan perwujudan kebijakan dan implementasinya sangat dibutuhkan.
“Jangan sampai kesepakatan internasional yang dilakukan hanya sekadar selubung hijau dari upaya menarik investasi, tanpa memperhatikan prinsip keberlanjutan dan berkeadilan di dalamnya,” sebut Atinna.
Hal serupa juga ditujukan bagi para lembaga pemberi pinjaman. Dalam pembiayaan PLTU batu bara di KIHI masih terdapat bank-bank domestik, disaat perbankan internasional menghindar.
“Elemen keberlanjutan yang disertai dengan prinsip berkeadilan semestinya menjadi prioritas dalam kerangka menjalankan bisnis pembiayaan sebuah proyek. Pemberian pinjaman selayaknya berdasar pada track record yang baik dan konsistensi dalam mewujudkan komitmen hijau tiap calon debitur," jelas Atinna.
Menanggapi hasil studi CELIOS, Juru Kampanye Keuangan Batu bara Market Forces Binbin Mariana menambahkan, saat ini sudah lebih dari 200 bank dan lembaga keuangan global memiliki kebijakan pembatasan pendanaan batu bara. Namun, tidak ada bank Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut.
Menurutnya, keterlibatan bank domestik dalam pembiayaan pembangunan PLTU batubara baru menunjukan bahwa perbankan Indonesia tertinggal jauh dalam mengelola risiko iklim dari pendanaan batu bara. Terdapat risiko transisi dan risiko fisik dalam pendanaan batu bara.
"Perbankan Indonesia tidak mempertimbangkan risiko krisis iklim yang berdampak pada usaha debitur yang dapat mempengaruhi kualitas aset pinjaman bank yang tentunya akan mengurangi profitabilitas bank,” kata Binbin.