Home Nasional APHA: RUU Masyarakat Adat Tak Disahkan, Kasus Seperti di Rempang akan Terus Berulang

APHA: RUU Masyarakat Adat Tak Disahkan, Kasus Seperti di Rempang akan Terus Berulang

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menilai bahwa persoalan yang terjadi seperti di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), akan terus berulang jika pemerintah dan DPR tidak mengesahkan RUU Hukum Adat.

Wakil ketua APHA Indonesia, Prof. Dr Dominikus Rato, usai bertemu dengan Ketua Watimpres, Jenderl TNI (Pur) Wiranto, di komplel Istana di Jakarta, Rabu (13/9), mengatakan, RUU tersebut memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat.

Menurutnya, RUU tersebut juga melindungi kaum wanita, anak-anak, dan lingkungan di luar kawasan pembangunan yang dibangun oleh investor maupun pemerintah daerah dan pusat.

Sesuai pengakuan masyarakat, mereka sudah tinggal di wilayah tersebut sejak 1843 atau jauh sebelum Indonesia lahir dan merdeka, yakni tahun 1945. Kemudian petugas atas nama negara tiba-tiba datang untuk mematok tanah warga.

Petugas hendak mematok tanah yang sudah ditinggali warga nyaris 200 tahun untuk dijadikan pengembangan proyek BP Batam beserta PT Makmur Elok Graha (PT MEG).

Dominikus Rato menyampaikan, UU Agraria menyatakan, hubungan tanah dengan manusia bersifat abadi, karena itu tanah tidak dapat dipisahkan meskipun terjadi kematian.

Menurutnya, negara kerap kurang memahami masalah tersebut sehingga dalam menciptakan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sering mengabaikan hak-hak tanah adat dan masyarakat adat sehingga menimbulkan bentrokan.

“Saya meneliti, baik di perbatasan NTT dengan Timor Leste, Kalimantan Utara dengan Malaysai dan konflik ditempat lain seperti di Jawa Tengah, Suku Samin (Sedulur Sikep) dengan pabrik Semen Indonesia, dan Suku Badui, dan masyarakat Ternate dengan TNI,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, semua konflik terjadi lantaran kurangnya kominikasasi dengan masyarakat adat, sementara para investor atau pihak lain, pokoknya investasi harus jalan, jangan sampai ada yang menghalangi.

Negara seolah tidak hadir atau pemerintah justru terkesan memihak investor lantaran kurang paham terhadap posisi hak ulayat atau mungkin mengerti tetapi karena memihak kepada para investor sehingga seolah-olah tidak tahu bahwa masyarakat adat juga perlu dilindingi.

Menurut Prof. Rato, hak kepemilikan tanah bagi masyarakat adat sama dengan ibu pertiwi yang melahirkan dan tempat ia dikuburkan. Jika tanah mereka diusik, maka hati mereka terusik sama dengan kalau ibu kandungnya diganggu oleh orang lain.

Atas dasar itu, kata dia, para pembuat UUD sadar untuk melindungi mereka melalui Pasal 18 B Ayat (2), yakni bahwa hak-hak adat dan komunitasnya harus tetap dilindungi oleh undang-undang (UU).

Ketua APHA Indonesia, Dr. Laksanto Utomo, menyampaikan, APHA menemui watimpres untuk melakukan audiensi dan menyampaikan hasil seminar internasional soal mandeknya RUU Masyarakat Adat di DPR. Seminar APHA dibuka oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dan menghadirkan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD sebagai pembicara.

“Pengalaman saya melaporkan sesuatu kepada Pak Wiranto, mendapat respons dan hasilnya cepat,” katanya.

Laksanto mengungkapkan, ketika menjabat ketua APPTHI, melaporkan soal maraknya korupsi kepada Wiranto. Setelah itu, dia langsung membuat Saber Pungli.

“Saat ini APHA melapor terkait belum disahkannya RUU Hukum Masyarakat adat atau sudah lebih 18 tahun berada di meja DPR, belum juga disahkan. Mudah-mudahan setelah APHA bertemu Bapak, RUU adat segera disahkan sebelum Pemilu tahun ini,” katanya.

Ketua Pelaksana Seminar Internasional APHA, Kunthi Tridewiyanti, mengatakan, hasil seminar tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa secara konstitusional pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dijamin di dalam pasal 18 B Ayat (2) UUD RI 1945. Keberadaan masyarakat adat tak lepas dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, hak-hak konstitusionalnya harus tetap terjamin dan terlindungi.

Faktanya, lanjut dia, berbagai kasus yang terjadi terhadap masyarakat adat sangat memperihatinkan dan tidak adil, pengabaian negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya jelas terlihat dari penyelesaian konflik yang terjadi, antara lain masyakarat adat Pantai Raja, kabupaten Kampar Riau dengan PT Perkebunan Nusnatara PTPN V.

Kemudian, konflik antara masyarakat adat sedulur sikep atau Samin dengan PT SMS di kabupaten Pati, Jawa Tengah. Konflik-konflik tersebut menunjukkan lemahnya posisi masyakarkat adat, terutama ketika berhadapan dengan Negara dan korporasi.

“Pemerintah dan DPR harus selaku pembuat UU harus segera mengesahkan RUU Hukum Adat sebelum Pemilu tahun 2024 atau sebelum Pilpres kanena sulit diharapkan anggota DPR baru nanti melakukan pembahasan, apa lagi pengesahan terhadap RUU yang sudah puluhan tahun berada di DPR itu,” kata Kunthi.

Sementra itu, Jenderal TNI (Pur) Wiranto berjanji akan segera menyampaikan pertimbangannya kepada Presiden joko Widodo (Jokowi) untuk segera mengesahkan RUU Hukum Adat sebelum Pemilu tahun 2024.

“Mudah-mudahan presiden segera merespons karena tak ada alasan untuk tidak mengesahkan,” katanya.

Adapun jajaran pengurus APHA lainnya yang hadir dalam pertemuan tersebut, yakni Dr. Leny Nadriyana, Dr. Rina Yulianti Univ Trunojoyo, Dr. Ummu Salamah, Univ Unas, Dr. Nam Rungkel dari Univ Khairun, dan Dr. Yusuf Muh Said dari IBLAM Jakarta.

172