Yogyakarta, Gatra.com - Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah mengecam langkah pemerintah untuk menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau, demi kepentingan investor.
"Pelaksanaan kebijakan yang tanpa konsultasi dan menggunakan kekuatan kepolisian dan TNI secara berlebihan bahkan terlihat brutal, pada 7 September 2023, ini sangat memalukan," demikian pernyataan Ridho Al Hamdi, ketua lembaga tersebut, dalam pernyataan tertulis, Rabu (13/9).
Ia menyebut, pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan.
Dalam catatan LHKP dan MHH PP Muhammadiyah, permukiman dan warga tercatat telah ada sejak 1834. Pada 2001, Pemerintah Kota Batam mengajukan pengembangan kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam.
"Mereka mengundang pengusaha nasional dan investor dari Malaysia serta Singapura, dengan PT MEG (grup Artha Graha milik Tommy Winata) dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun," demikian pernyataan LHKP dan MHH PP Muhammadiyah.
Pada 2007 proyek ini diketahui masyarakat dan mendapat penolakan. Pada Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari China untuk investasi 11,5 miliar USD dalam pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City.
"Meskipun proyek ini memiliki potensi besar untuk menarik investasi hingga Rp 318 triliun hingga 2080, rencana ini menyebabkan warga tergusur," lanjutnya.
Rempang Eco-city merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) juga disebut sangat bermasalah. Payung hukumnya baru disahkan pada 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023.
"Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. Hampir dalam setiap Pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah selalu melakukan mobilisasi aparat secara berlebihan yang berhadapan dengan masyarakat."
LHKP dan MHH PP Muhammadiyah juga menilai pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap” sangat keliru."
Menko Polhukam dinilai membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut.
LHKP dan MHH menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia, seperti termuat di UUD 1945 terutama pasal 33.
"Melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar," ujarnya.
LHKP dan MHH PP Muhammadiyah pun meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City. Presiden juga didesak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan memperparah kerusakan lingkungan.
"Kedua, mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik," lanjutnya.
Pemerintah juga diminta segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang dan mendesak DPR RI untuk mengevalusi beragam peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi.
Kementrian PPN/Bappenas pun diharap dapat menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang dan jangka menengah yang penuh dengan partisipasi bermakna, melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak serta memastikan prinsip keadilan antar generasi.
"Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk segera memerintahkan penarikan pasukan dari lokasi yang menjadi milik masyarakat Pulau Rempang, mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam kekerasan di Pulau Rempang serta mencopot Kapolda kepulauan Riau, Kapolres Barelang, dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarakat sipil.'
Pada poin ketujuh, LHKP dan MHH PP Muhammadiyah mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggungjawab melakukan pemulihan kepada perempuan dan anak-anak terdampak brutalitas aparat kepolisian, dan segala bentuk represi dan intimidasi oleh aparat pemerintah.
"Kami juga mendesak pemerintah agar segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup, mempertahankan kebudayaan dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati, serta mengedepankan pendekatan hak asasi manusia," papar Ridho.