Home Nasional Masyarakat Global Perangi Intoleransi dan Diskriminasi Agama Lewat Resolusi HAM 16/18

Masyarakat Global Perangi Intoleransi dan Diskriminasi Agama Lewat Resolusi HAM 16/18

Jakarta, Gatra.com – Masyarakat global perlu bersama-sama menegakkan Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (HAM PBB) 16/18 untuk memerangi intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan. Resolusi itu menjadi kerangka bersama yang menjamin perlindungan kepada setiap warga dunia untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing, serta mencegah terjadinya kekerasan berdasarkan agama.

Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 mengenai “Combating intolerance, negative stereotyping and stigmatization of and discrimination, incitement to violence and violence against persons based on religion or belief” disahkan pada April 2011. Resolusi ini membentuk Istanbul Process, sebuah platform yang mempertemukan negara-negara setiap tahun dan menjadi platform inklusif yang juga mempertemukan Institusi-institusi Nasional HAM (NHRIs), legislator, hakim, jurnalis, media, serta perwakilan dari organisasi-organisasi HAM nasional dan regional.

“Saya ingin menghormati dan mengakui langkah maju dari masyarakat global, masyarakat internasional dengan memajukan Resolusi 16/18 ini yang merupakan kemenangan bagi multilateralisme. Kita upayakan bersama penegakkan dari resolusi ini,” kata Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Duta Besar Bea ten Tusscher, dalam webinar internasional seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan oleh Kedutaaan Besar Belanda di Jakarta bersama Institut Leimena pada 22 Agustus 2023.

Belanda, yang sejak 2019 memimpin Istanbul Process, melakukan sejumlah inisiatif terkait Resolusi 16/18. Pada Oktober 2021, pemerintah Belanda menetapkan koordinator nasional untuk melawan diskriminasi dan intoleransi yang mendorong peraturan atau hukum untuk meninjau aturan hijab dan aturan pendanaan masjid dengan alasan terkait memerangi terorisme.

Pada Mei 2022, Belanda juga membentuk komisi khusus atas permintaan parlemen nasional yang bertugas menginvestigasi akar dan penyebab insiden diskriminasi, kekerasan, dan intoleransi. “Saya berharap ilmu dari Indonesia membuat Istanbul Process lebih baik lagi. Ini proses yang perlu kita dukung bersama,” Bea melanjutkan.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) RI, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan resolusi 16/18 merupakan usulan aktif dari 58 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bersama AS. Ketika resolusi disahkan, Siti menjabat sebagai ketua Komisi HAM OKI yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi.

“Indonesia memiliki komitmen sangat kuat sejak awal resolusi ini dirumuskan sampai disampaikan ke Dewan HAM dan Majelis Umum PBB. Indonesia sangat terlibat aktif di dalamnya karena kita memiliki modalitas kuat yang terkandung dalam resolusi ini,” ujarnya.

Ruhaini menambahkan KSP juga melakukan kajian agar Resolusi 16/18 bisa memperkuat kembali toleransi dan harmoni di Indonesia. Presiden Joko Widodo juga memberi arahan agar Indonesia “menetapkan kembali” (reclaim) moderasi beragama sebagai identitas bangsa.

“Ada satu hal penting bagaimana moderasi beragama dilakukan secara pedagogik. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM dan Institut Leimena saat ini mendapatkan metode komprehensif untuk melakukan pendidikan toleransi lewat Literasi Keagamaan Lintas Budaya,” katanya.

Sementara itu, Duta Besar Keliling Amerika Serikat (AS) untuk Kebebasan Beragama Internasional, Rashad Hussain, menyatakan konstitusi AS memberikan kemerdekaan setiap orang untuk beragama dan mempraktikkan agamanya atau bahkan memilih tidak beragama. Selain itu, pemerintah AS memiliki peraturan perundangan tambahan untuk melindungi masyarakat dari diskriminasi.

“Misalnya, ada pegawai dan pemberi pekerjaan menyatakan bahwa Anda tidak bisa beribadah selama bekerja, maka ada peraturan yang mencegah perusahaan/lembaga melakukan hal itu,” kata Rashad yang juga seorang muslim minoritas di AS. Rashad juga menyinggung undang-undang anti-penistaan agama yang dinilainya bukan ide baik karena justru memupuk lebih banyak lagi penistaan atau ujaran kebencian.

Direktur Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama di Brigham Young University, Dr. Brett G. Scharffs mengatakan, situasi ujaran kebencian melibatkan hubungan sederhana antara pembicara dan target audiens. Seringkali, audiens ujaran kebencian yang menjadi akselerator atau “bensin”, bukan sebaliknya mendinginkan suasana.

Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, mengatakan Indonesia secara konsisten mendukung implementasi dari Resolusi 16/18 yang secara prinsip mengedepankan pentingnya toleransi antara lain dengan memastikan tidak adanya impunitas bagi para pelaku hate crimes, menjamin perlindungan atas tempat ibadah, simbol agama, dan penghormatan terhadap hari raya keagamaan, serta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan Resolusi 16/18 bukan hanya berfokus melawan tindakan, tetapi juga pola pikir. Situasi itu menjadi tantangan bersama masyarakat global, apalagi di era digital sekarang, di mana lalu lintas informasi sedemikian luas.

“Ketika alam pikiran seseorang dikuasai ketakutan atau kebencian terhadap orang lain karena informasi atau ajaran yang salah tersebut, sebetulnya yang direndahkan martabatnya bukan hanya orang lain tersebut, tetapi juga dirinya sendiri, karena pola pikir tersebut akan menghambat pertumbuhannya sebagai seorang manusia yang sesuai martabatnya,” kata Matius.

Duta Besar Kerajaan Belanda di Jakarta, Lambert Grijns, mengatakan Indonesia memiliki tradisi gotong royong, sedangkan Belanda mempunyai polder model yaitu menyisihkan perbedaan untuk kepentingan lebih besar.

123