Jakarta, Gatra.com - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono kembali mengatakan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah dengan metode Refuse-Derived Fuel (RDF) lebih cocok bagi Jakarta ketimbang metode Intermediate Treatment Facility (ITF).
Di samping itu, Heru yang masih merangkap jabatan Kepala Sekretaris Kepresidenan atau Kepala Rumah Tangga Istana mengusulkan revisi atas Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, saat bertemu Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Rabu malam (30/8).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan rencana pembangunan fasilitas pengelolaan sampah dengan metode RDF menyebabkan kepercayaan investor energi terbarukan kepada Indonesia akan turun.
Menurut Bhima pembangunan RDF dalam program transisi energi dapat mengakibatkan mundurnya berbagai target emisi, sekaligus batalnya komitmen pendanaan internasional, seperti pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dari negara maju kelompok G7.
“Investor tentu akan berpikir soal komitmen pensiun PLTU Batubara dan dekarbonisasi industri yang tertunda, sehingga bisa saja membatalkan berbagai rencana investasi transisi energi,” kata Bhima dalam keterangan tertulis, Kamis (31/8).
Dengan memperluas pembangunan RDF di kota-kota besar seperti Jakarta, kata Bhima, investor dapat meragukan komitmen pemerintah dalam melakukan transisi energi karena RDF akan digunakan sebagai co-firing (pembakaran bersama) di PLTU Batubara.
“PLTU Batubara tersebut seharusnya dipensiunkan, namun dengan adanya co-firing dengan pelet dari fasilitas RDF, PLTU Batubara tersebut dapat diperpanjang umurnya,” tambah Bhima.
Menurut Bhima, RDF juga menyebabkan polusi udara secara langsung dan tidak langsung. Antara lain melalui pembakaran PLTU Batubara.
“Polusi juga terjadi ketika hasil RDF yaitu biopelet perlu dikirim ke tempat pengolahan terpisah, kemudian dikirim ke PLTU,” ujar Bhima.
Selain menimbulkan polusi udara, pengolahan sampah dengan RDF merupakan objek pajak karbon yang membuat nilai ekonomis RDF lebih rendah. RDF menjadi pajak karbon karena menghasilkan emisi sehingga harus membayar pajak dengan jumlah tertentu kepada pemerintah.
“Sedangkan ITF merupakan carbon credit karena mengurangi emisi dan menerima insentif, jadi bagi saya RDF adalah solusi palsu transisi energi,” tuturnya.
Sebelumnya Heru mengatakan, melalui perbaikan Perpres nomor 35 tahun 2018, penanganan sampah di Jakarta akan lebih fleksibel menyesuaikan kondisi di daerah masing-masing.
"Terkait fleksibilitas untuk menyelesaikan sampah, jadi pake teknologi apa aja sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, misalnya Medan pakai apa, Jakarta cocoknya RDF ya RDF, Surabaya cocoknya pakai teknologi ITF, ya, silakan," jelasnya.