Jakarta,Gatra.com-Setelah mengambil keputusan melepas air limbah Fukushima ke perairan pasifik pada Kamis (24/8), Pemerintah Jepang terus berupaya meyakinkan masyarakat dunia kalau langkahnya itu aman ditengah kecaman negara-negara tetangganya. Pasalnya, mereka khawatir makanan laut tidak lagi aman akibat potensi kontaminasi.
Namun, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida baru-baru ini menunjukkan seberapa aman konsumsi makanan laut dari tempat pembuangan limbang PLTN Fukushima dengan memakan sashimi pada Rabu (30/8) lalu. Kishida dan sejumlah menterinya nampak lahap menyantap sashimi ikan flounder, gurita, dan ikan bass yang ditangkap di pantai Fukushima seminggu setelah limbah dilepas. Ia menyantap sashimi berbarengan dengan sayur dan buah, serta semangkuk nasi.
Sebelumnya, Jepang mendapat kritikan dan protes dari negara tetangga seperti Korea Selatan, Korea Utara dan Cina. Mereka menuntut Jepang segera menghentikan pelepasan limbah olahan itu. Cina bersama Hongkong dan Makau bahkan lebih keras lagi, melarang impor hasil laut apapun yang berasal dari Jepang. Bagi mereka, Jepang sangat egois.
Insiden ini diyakini akan membuat renggang hubungan dagang kedua negara. Jepang, diketahui merupakan pengekspor hasil laut atau produk akuatik senilai 600 juta dolar AS atau setara Rp9,1 triliun ke Cina pada 2022 lalu. Menjadikan Cina pasar terbesar bagi ekspor Jepang. Sementara Hong Kong berada di urutan kedua. Cina dan Hongkong menyumbang kira-kira 42 persen dari total ekspor produk perairan Jepang pada 2022.
Aman dan Umum Diterapkan
Melalui keterangan tertulis yang diterima Gatra dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta pada Rabu (23/8) menyebut, Pemerintah Jepang berkomitmen mengambil semua langkah yang mungkin dilakukan untuk menjamin keselamatan, mencegah dampak buruk terhadap reputasi, serta mendukung kelangsungan mata pencaharian.
Kemudian, Jepang juga akan terus menjalani tinjauan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), serta memperkuat dan memperluas pemantauan dan penyebaran informasi yang mudah dipahami tentang hasil pengukuran, mempromosikan daya tarik produk perikanan dari area Sanriku-Joban, dan melakukan upaya meningkatkan konsumsinya, serta memberikan dukungan bagi kelangsungan mata pencaharian masyarakat. termasuk, memberi dukungan pada kelangsungan mata pencaharian masyarakat lokal, termasuk para nelayan.
Senada, Mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) RI periode 2012-2018, Djarot Wisnubroto menilai tindakan Jepang dapat dipahami dalam konteks paska kecelekaan 2011. Air banyak digunakan untuk mendinginkan teras reaktor. Cara yang lebih efektif yaitu pelepasan air terolah ke laut lepas.
Memang, ada opsi-opsi lainnya, semisal memadatkan cairan menjadi beton dan disimpan. Namun kekurangannya memerlukan ruang yang luar biasa besar dan berbiaya mahal. Sementara jika diuapkan, volume air menjadi lebih kecil namun sebagian zat radioaktif akan ikut menguap.
“Berbagai alternative tersebut pernah dipertimbangkan. Namun risikonya lebih besar dan biaya mahal,” ungkapnya kepada Muhammad Mutaqin dari Gatra.
Meski begitu, perlu dicatat bahwa air yang dilepas ke laut itu menurutnya sudah diolah untuk mengambil zat radioaktif atau kontaminan, dan menyisakan tritium atau isotope hydrogen yang sulit dipisahkan dari air namun jauh dibawah ambang batas yang dipersyaratkan.
Ia menilai, yang membuat orang khawatir adalah karena nuklir menimbulkan ketakutan. Sebagian tidak bisa memisahkan nuklir untuk senjata dan untuk tujuan damai. Namun jika melihat statistik, PLTN baginya merupakan teknologi paling aman dibanding PLTU, PLTG atau pembangkit besar lainnya.
“Silakan dicek statistik kecelakaannya. Hanya memang PLTN menimbulkan pro dan kontra. Namun dengan tingkat keselamatan tinggi, dan memberi daya besar serta stabil dan emisi karbon yang rendah,” jelasnya.
Mengingat kecelakaan PLTN yang relative sedikit, sebut saja Chernobyl, Fukushima, dan Three Mille Island, maka tidak ada negara lain yang memiliki pengalaman serupa (pelepasan limbah ke laut). Namun yang pasti, praktik pelepasan air yang mengandung tritium itu menurutnya dilaksanakan hampir semua PLTN, termasuk Cina. Normalnya, PLTN melepas air ke sungai, danau, atau laut di dekatnya. Semua dibawah ambang batas yang diizinkan badan pengawas setempat, maupun standar keselamatan internasional
Melandainya Pembangunan Pembangkit Nuklir
Analis Institute for Energy Economics and Finansial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna menilai, tantangan global dalam mengembangkan pembangkit nuklir adalah iklim politik sebuah negara. Tidak bisa menutup mata, ada negara-negara yang memang khawatir dengan penggunaan teknologi nuklir, diantaranya negara-negara yang pernah terlibat dalam perang seperti Jerman, dan negara eropa lainnya.
Tetapi, harus dipahami bahwa pertumbuhan pembangkit nuklir itu melandai sejak tahun 2000-an. Biasanya, karena ada 3 hal. Pertama pembangunan tidak selesai-selesai. Banyak sekali yang waktunya lama, 10-20 tahun. kedua, overbudget dari estimasi biaya awal. Ketiga, faktor kompetisi dengan energi lain yang bergerak.
“Ketiga faktor ini mempersempit peluang nuklir untuk dikembangkan,” katanya kepada Gatra, Rabu (30/8).
Misalnya, jika mau dikompetisikan antara pembangkit nuklir dengan pembangkit tenaga surya yang bisa berdiri hanya dalam waktu 3 tahun. Jelas menurutnya nuklir akan terpinggirkan.
Nah, bagaimana dengan konteks Indonesia? Putra tidak masuk pada perdebatan anti atau mendukung. Baginya, tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam mengembangkan pembangkit listri bertenaga nuklir harus disiplin. Pasalnya, faktor keamanan jadi kunci keberhasilan pembangkit listrik bertenaga nuklir.
“Jangan ada shortcut dalam pengembangan nuklir,” tegasnya.
Kemudian, lanjut Putra, ada tren yang disebut small reactor. yaitu mengembangkan pembangkit listrik nuklir skala kecil, atau juga akrab disebut reaktor nuklir modular kecil. Di Indonesia, memang ini sedang coba dijajaki. Salah satunya, penjajakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Kalimantan Timur.
Ia berpesan, jika memang ini mau dijajaki serius, maka harus jelas betul bagaimana safety review nya. Karena, di AS menurutnya untuk melakukan perizinan desain reaktor baru membutuhkan 2-3 tahun hanya untuk mereview keamanan. Kalau Indonesia mau serius, harus sejak awal agar tidak ada kesan terburu-buru dalam membangun pembangkit nuklir.
Hal lainnya yang juga menurutnya harus diperjelas adalah pembahasan soal mitigasi jika ada kecelakaan nuklir. Siapa yang menanggung biayanya? menurutnya ini pertanyaan yang susah gampang. Fukushima saja misalnya, biaya penanggulangan untuuk penanganan kecelakaan itu sangat bervariasi. Ada yang menyebut US$ 200-500 miliar
“Bayangkan itu kalau dirupiahkan berapa banyak? berapa kali lipat APBN?,” katanya.
Belum lagi jika memitigasi kemungkinan cost overrun. PLN menurutnya punya peran penting. Jika nanti sudah diputuskan akan membangun, PLN harus clear betul berapa biaya yang akan didapat dengan pembangkit nuklirnya. Jangan sampai di awal janji A, ditengah jalan ada cost overrun nanti ditengah jalan biayanya meningkat berlipat-lipat.
“Masalahnya ini sudah terjadi berulang di banyak negara. Makanya PLN harus hati-hati,” tutupnya.