Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyampaikan hasil International Conference APHA di Ruang Nusantara MPR RI pada tanggal 7 Agustus 2023.
Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia, Laksanto Utomo, di Jakarta, Rabu (30/8), menyampaikan, pihaknya mengirimkan surat perihal Percepatan Pengesahan RUU Masyarakat Adat tersebut pada Senin (28/8).
Dalam surat itu, lanjut Laksanto, pihaknya melaporkan bahwa konferensi internasional tersebut dihadiri oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Menko Polhukam Mahfud MD, dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni.
Salah satu poin penting dari hasil konferensi tersebut, lanjut Laksanto, adalah mendorong dan mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk secepatnya menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Adat menjadi Undang Undang (UU) tentang Masyarakat Adat.
APHA meminta Presiden Jokowi selaku kepala negara, menaruh perhatian serius dan sungguh-sungguh terhadap percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Sebab, secara legal konstitusional pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat (Masyarakat Hukum Adat) telah diatur dalam Pasal 18B Ayat (2).
Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini keberadaan masyarakat adat tetap ada dan eksis. Keberadaan masyarakat adat dapat diibaratkan dengan pepatah lama bahwa ia tak pernah tak lekang karena panas dan tak pernah lapuk karena hujan.
“Masyarakat adat sebagai bagian yang terpisahkan dari masyarakat dan bangsa ini akan selalu hidup dan eksis seiring dengan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Pengabaian Negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya nampak jelas dari berbagai konflik yang terjadi. Masyarakat adat yang berada di garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup justru terusir dan tergusur dari tanah dan hak ulayat yang mereka miliki secara turun temurun.
“Ini adalah sebuah ketidakadilan nyata yang sejatinya tidak boleh terjadi dibumi Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945,” ujarnya.
APHA kemudian memberikan contoh salah konflik antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan pelat merah, yakni Masyarakat Adat Pantai Raja, Kabupaten Kampar, Riau, dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V.
Konflik lainnya, yakni antara masyarakat adat Sedulur Sikep dengan PT SMS di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. APHA menyatakan, kedua kasus tersebut adalah contoh konkret dari berbagai konflik serupa yang menunjukkan lemahnya posisi masyarakat adat, terutama jika berhadapan dengan Negara dan korporasi.
APHA menyatakan, sejatinya political will dan kehendak yang kuat untuk melindungi masyarakat adat tidak hanya terucap pada janji-janji, tetapi perlu dibuktikan dan direalisasikan dalam wujud perundang-undangan, yaitu UU tentang Masyarakat Adat.
APHA menilai bahwa keberadaan UU Masyarakat Adat ini sangat urgen dalam melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya.
“Kami berharap Bapak Presiden dengan kewenangan konstitusionalnya berkenan memenuhi harapan kami dan harapan masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air,” katanya.