Pekanbaru, Gatra.com - Sudah 23 tahun lelaki 58 tahun ini berbaur dengan warga asal Pulau Jawa yang dikirim Pemerintah Pusat menjadi transmigran ke Kabupaten Bengkalis Riau itu, tahun '90 an silam.
Tak hanya warga biasa, pensiunan militer juga ada di antara total 5.368 kepala keluarga warga transmigrasi itu.
Mereka menjadi pemilik 11 ribu hektar kebun kelapa sawit binaan PT. Inti Indosawit Subur (IIS), anak perusahaan Asian Agri yang tersebar di 12 desa.
Dua desa berada di kecamatan Dayun, sisanya di Kecamatan Kerinci Kanan. Semuanya berada di kabupaten yang kini bernama Siak. Orang juga menyebutnya 'Negeri Istana'.
"Dulu namanya masih Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Tapi setelah tahun 1997, namanya berubah menjadi desa. Tiap desa punya satu Koperasi Unit Desa (KUD). Ini menjadi wadah warga untuk mempermudah mengelola kebun kelapa sawitnya," cerita Katimin, lelaki 58 tahun tadi.
Adapun nama-nama KUD tadi antara lain; Mulus Rahayu, Birawa Bakti, Bakti Mandiri, Jaya Makmur, Sumber Rezeki, Sejahtera, Tani Rukun, Kebun Sawit Harapan, Buatan Jaya, Mitra Usaha, Makarti Sawit, dan Bina Mulia.
Baca juga: Kebun Sawit Tua Produksi Moncer. Ini Rahasianya...
Semuanya tergabung dalam Forum Komunikasi Petani PIR Kelapa Sawit (FKPPKS). Sekarang, Katimin yang menjadi juru bicaranya.
Katimin sendiri bukan asli transmigran. Ayah tiga anak ini berasal dari Sumatera Utara (Sumut). Sempat lama tinggal di kawasan Rokan Hilir dan kemudian hijrah ke Siak.
"Nasib yang kemudian membawa saya ke sini," dia berkelakar saat berbincang dengan Gatra.com di rumahnya, di kawasan Desa Sukamulya Kecamatan Dayun, Minggu pekan lalu.
Sebagai petani sawit, para warga transmigran termasuk Katimin, tidak sendirian mengelola kebunnya. Tapi dibina langsung oleh IIS. Segala ilmu soal agronomi hingga seperti apa pola panen, diajari.
Maka tak aneh kalau sekarang, para petani ini sudah sejahtera. Tengok sajalah, meski umur pohon kelapa sawitnya sudah tua, sudah berumur 30 tahunan, produksinya masih moncer.
Tiap bulan, rata-rata petani masih bisa menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) antara 7-8 ton per kapling alias per dua hektar.
Kalau harga TBS Rp2500 saja perkilogram, berarti saban bulan petani sudah mengantongi duit antara Rp17,5 juta hingga Rp20 juta.
Itu baru dari hasil panen. Belum lagi duit premium sharing yang saban tahun didapat oleh FKPPS dari perusahaan yang rata-rata Rp1 miliar setahun.
Duit semacam itu nongol lantaran semua kebun petani, layaknya perusahaan, sudah bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Belakangan, dari 12 desa tadi, sudah empat desa yang menjalani peremajaan kebun. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) nimbrung pula dalam proses ini.
Soalnya Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Keuangan ini punya program bernama Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Semula setiap hektar kebun petani dikasi bantuan Rp25 juta. Tapi sejak pertengahan tahun 2020, nilai bantuan itu naik Rp5 juta per hektar.
"Alhamdulillah, kami sangat bersyukur menjadi petani kelapa sawit. Rasa syukur ini tentu akan kami pertunjukkan pada upaya kami untuk lebih baik lagi mengelola kebun. Agar produktivitas meningkat dan berkelanjutan," janji Katimin.
Abdul Aziz