Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkapkan bahwa, aliansi negara berkembang BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) tahun ini mendapatkan perhatian yang cukup besar seiring dengan peningkatan peran negara-negara BRICS dalam perekonomian dunia. Akan tetapi, jika Indonesia ingin bergabung dengan BRICS, maka pertimbangannya tidak hanya bisa didasarkan pada pertimbangan ekonomi karena performa ekonomi negara-negara BRICS belum cukup baik.
Yose mengatakan, dari seluruh negara BRICS, hanya Tiongkok dan India yang memiliki pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang baik. Sedangkan, Brazil dan Afrika Selatan memiliki pertumbuhan PDB per kapita yang cenderung negatif.
Dari sisi keuangan (devisa), negara-negara BRICS juga mengalami penurunan devisa, bahkan kata Yose beberapa negara seperti Brasil dan Rusia memiliki kondisi makroekonomi yang kurang kuat.
"Sehingga kita bisa katakan bahwa negara-negara ini performanya kinerjanya adalah stagnan sifatnya. Bahkan kalau kita bandingkan Indonesia, itu Indonesia jauh di atasnya," katanya dalam media briefing di Jakarta, Senin (28/8).
Yose menjelaskan, dari sisi penggunaan mata uang lokal, yang menjadi aspirasi BRICS, juga perlu menjadi perhatian mengingat perlu ada negara yang menanggung biayanya. Sementara dari aspek perdagangan intra-BRICS juga masih terbatas dan berpusat pada Tiongkok.
Secara perekonomian, kata Yose, BRICS sangat bergantung pada peran Tiongkok dan India, di mana keduanya sudah menjadi mitra strategis yang substansial bagi ASEAN. Indonesia juga telah memiliki hubungan dengan kedua negara tersebut, baik secara bilateral dan regional. Persaingan geopolitik antara Tiongkok dan India juga berpotensi menjadi masalah.
"Saya menunjukkan ini cuma mau menunjukkan bahwa, kalau memang kita mau bergabung dengan satu kerja sama internasional seperti ini, ya kita cari kerjasama internasionalnya dengan yang se-level juga," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Dandy Rafitrandi menyatakan bahwa, BRICS merupakan mitra strategis dari sisi perdagangan internasional. Meskipun begitu, perlu diperhatikan bahwa BRICS memiliki orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda dengan menekankan pada peranan pemerintah seperti subsidi, restriksi perdagangan, dan peran BUMN.
Indonesia sampai saat ini belum memiliki motif yang cukup jelas, untuk bergabung dengan BRICS, mulai dari kemungkinan akses pasar, akses investasi/pendanaan, atau akses teknologi.
Lebih lanjut, Dandy menilai bahwa, Indonesia mungkin tertarik untuk mendapatkan dukungan pendanaan dari New Development Bank (NDB), misalnya untuk transisi energi dan pendanaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Namun demikian, Indonesia perlu mencermati bagaimana operasionalisasi pendanaan ini karena NDB juga menekankan pada tidak adanya conditionality serta mengedepankan penggunaan mata uang lokal. Tidak hanya itu,Tiongkok sebagai penggerak utama juga memiliki AIIB dan Global Development Initiative.
Dandy minelai Indonesia memerlukan perhitungan yang cermat dalam melihat potensi dan tantangan apabila ingin menjadi anggota BRICS dalam waktu dekat. Terlebih Indonesia sudah memiliki wadah kerja sama ekonomi dengan negara-negara BRICS, seperti RCEP dan ASEAN-China FTA.
"Terlepas apakah Indonesia akan menjadi anggota BRICS atau tidak, belum terlihat manfaat ekonomi yang nyata bagi Indonesia dalam jangka pendek," pungkasnya.