Jakarta, Gatra.com – Bangunan purba di kawasan Muaro Jambi menjadi warisan sejarah Nusantara yang tak ternilai. Gugus bangunan berupa candi itu merupakan peninggalan arkeologi dari Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya yang menjadi pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Asia setelah Nalanda di India.
Peninggalan arkeologi yang dikenal sebagai Kawasan Candi Muaro Jambi itu merupakan situs sejarah terluas dan tertua di Indonesia. Para arkeolog, merujuk sumber Kemendikbud, meneliti Kawasan Candi Muaro Jambi dari sejumlah aspek, mulai dari arsitektur, kronologi, fungsi, dan identitas. Dalam kaitannya dengan arsitektur, kompleks percandian ini sduah dilakukan renovasi dan pemugaran sepanjang tahun.
Dalam kaitannya dengan kronologi, kawasan Muaro Jambi ditinjau sebagai kawasan yang strategis, dan memiliki keunikan atau karakteristik yang khas. Misalnya, pembangunan candi yang terpusat dan mengelompok di suatu tempat dan dikelilingi tembok pagar keliling. Karakter ini ditemui di sejumlah candi seperti: Candi Kedaton, Teluk, Kembar Batu, Gedong, Gumpung, Tinggi, dan Koto Mahligai.
Sementara itu, ada candi yang letaknya terpisah-pisah. Misalnya, Candi Astano, Manapo Melayu, dan lain-lainnya. Dari literatur, nama Muaro Jambi atau Muarajambi pertama kali muncul dari laporan seorang perwira angkatan laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke pada 1820.
Crooke kala itu melaporkan bahwa ia melihat reruntuhan bangunan dan menemukan satu arca yang menggambarkan arca Buddha. Keterangan Crooke dilengkapi oleh T. Adam, arkeolog Belanda yang berkunjung ke Jambi pada 1921. Namun, Adam tidak menyebutkan peninggalan-peninggalan lain di luar bangunan dan arca.
Baru belasan tahun kemudian, F.M Schnitger mengunjungi Jambi. Ia menambahkan bongkahan informasi tentang nama-nama candi baru selain Astano, yakni Candi Gumpung, Tinggi, Gunung Perak, Gudang Garem, Gedong I, dan Gedong II. Bahkan, menurut sumber sejarah, Schnitger sempat melakukan ekskavasi pada bagian dalam sejumlah candi.
Arkeolog meyakini F.M Schnitger sebagai peneliti pertama yang menghubungkan Kawasan Muaro Jambi dengan Kerajaan Melayu (Mo-lo-yeu) yang disebut dalam naskah Cina abad ke-7. Ia merujuk sungai kecil bernama Melayu di sebelah barat Desa Muaro Jambi sebagai dasar pemikirannya. Sementara, naskah kuno yang berhubungan dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan ada kedatangan utusan Kerajaan Mo-lo-yeu ke Cina pada 644 M dan 645 M.
Pendeta I-Tsing pada 672 M sebelum melanjutkan perjalanannya ke Nalanda, India menyempatkan singgah selama 2 bulan di Mo-lo-yeu untuk memperdalam bahasa sansekerta. Ketika beliau kembali dari India dikatakan Mo-lo-yeu pada 692 telah menjadi bagian Shih-li-fo-shih (Sriwijaya).
Kompleks Percandian Muaro Jambi terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kota Jambi. Kompleks percandian terluas di Asia Tenggara itu bersisian dengan Sungai Batanghari dan diperkirakan dibangun antara abad ke 7 dan13 Masehi. Di kawasan Candi Muaro Jambi terdapat sembilan candi bercorak Buddha yang masih berdiri. Salah satunya Candi Kedaton yang berada di atas hamparan lahan seluas 4 hektare dan terletak tidak jauh dari sisi jalan.
Menurut keterangan arkeolog, Candi Kedaton diyakini sebagai pusat pendidikan dan pelatihan ribuan rohaniwan Buddha di masa lalu. Di mana para biksu yang hadir ke candi ini berasal dari berbagai penjuru Asia. Para ahli meyakini Muaro Jambi dulunya menjadi denyut peradaban besar dan merupakan ibu kota dari Kerajaan Sriwijaya yang menguasai sebagian besar Sumatra enam abad lamanya.
Kepala Balai Pelestarian Wilayah V Provinsi Jambi dan Bangka Belitung, Agus Widiatmoko menyatakan, sampai masa awal kemerdekaan belum ada peneliti yang berhasil mengungkap keberadaan dan fakta sejarah yang detil tentang Candi Muaro Jambi. “Kawasan [candi] Muaro Jambi sebelum kemerdekaan kira-kira abad 19 M belum menjadi perhatian dari peneliti-peneliti Barat. Cuma mereka punya laporan-laporan perjalanan kayak Crooke, T. Adam, F.M Schnitger dalam bukunya ‘Forgotten Kingdoms in Sumatra”’salah satunya menyebut kawasan cagar budaya nasional Candi Muaro Jambi ini ada beberapa,” kata Agus Widiatmoko kepada Gatra.com.
Di skala nasional, Kawasan Candi Muaro Jambi pernah diteliti oleh tim dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Saat ini Kemendikbud Ristek) di bawah pimpinan R. Soekmono pada 1954. Tim melakukan pengambilan foto-foto baru dan menyimpulkan ada hubungan kuat antara kawasan Muaro Jambi dengan kerajaan Sriwijaya. Selanjutnya pada 1975, kegiatan pemugaran candi-candi yang telah runtuh mulai dilaksanakan oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kalau kita kenal salah satu tokoh yang memugar Candi Borobudur, yaitu Prof. R. Soekmono juga memulai kegiatan melindungi Candi Muaro Jambi, tapi waktu itu baru kunjungan sesaat saja, tidak ada yang dilakukan secara signifikan, tetapi itu dilaporkan bahwa itu perhatian pertama,” ujar agus.
Pemugaran intens berlangsung pada 1978, di mana Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pemugaran candi terutama di Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I dan Gedong II. “Saat itu menjadi awal mula konservasi terhadap kawasan cagar nasional Muaro Jambi ini. Baru 1990-an ada Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) itu mulai intens melakukan konservasi di kawasan ini dan beberapa bangunan candi juga dipugar pada waktu itu”.
Seiring perjalanan, upaya konservasi dilakukan saban tahun. Baru-baru ini, pemerintah memberikan perhatian pada Candi Kedaton untuk dilakukan pemugaran dan konservasi. Agus menyebut, pemerintah memiliki target jangka panjang konservasi candi sampai tahun depan. “Untuk tahun 2002 sampai 2024 ada beberapa kompleks bangunan candi yang kita pugar. Yang pertama, Candi Koto Mahligai. Kemudian Candi Parit Duku, Candi Sialang, dan Candi Manopo Alun-Alun. Ini target kami yang harus selesai,” ucapnya.
Menurutnya, banyak masyarakat yang belum mengetahui sisi historis dari Candi Muaro Jambi. Meski belum sepenuhnya optimal berfungsi sebagai objek pariwisata, Candi Muaro Jambi memiliki nilai sejarah yang tinggi. Misalnya, Candi Kedaton yang menjadi pusat belajar rohaniwan Buddha dari mancanegara. “Yang disebut candi itu bukan melulu bangunan sebagai tempat orang beribadah, bukan. Dan, Kedaton ini indikasinya dulu pusat pembelajaran,” kata Agus.
Secara arkeologis, Candi Kedaton—juga candi lainnya—tidak hanya berfungsi sebagai pusat perguruan, tetapi juga menjadi sejarah kemajuan pembangunan infrastruktur di masa lalu. “Setiap komponen dan atribut candi punya fungsi masing-masing. Kemudian, ada struktur kolam-kolam kuno dulunya reservoir air bersih, dan ada danau serta kanal-kanal yang menghubungkan lokasi satu dengan lokasi lain,” ia menambahkan.
Menurut Agus, yang membedakan Candi Muaro Jambi dengan candi yang ada di Jawa tampak dari penggunaan ukiran dan relief yang minimalis. Berbeda dengan Candi Prambanan dan Candi Borobudur yang dipenuhi stupa atau arsitektur estetis. “Ini yang berbeda dari Candi Muaro Jambi dengan yang lainnya. Jadi, ini dulu mind-nya, pusat mind training-nya mengolah dan melatih pikiran, dan itu [bangunannya] simple. Tapi, kalau di Jawa ini banyak relief, karena memang fungsinya ritual,” katanya.
Ia mencontohkan, Candi Prambanan yang banyak memahat filsafat kehidupan seperti kisah Ramayana. Lalu, Borobudur dengan narasi teks Sutra pada Gandawyuha, Jataka, dan seterusnya. Agus menyebut, Kedaton dan candi Muaro Jambi lainnya merupakan pusat pengembangan Buddha yang dikenal sebagai Buddha Mahayana. Ajaran ini hingga saat ini dianut oleh masyarakat Tibet dan masyarakat lainnya di dunia. Salah satu tokoh yang dikenal sebagai pengembang Buddha Mahayana, yakni mahaguru Dharmakirti.
Ajaran Buddha Mahayana dikembangkan terpusat di Kedaton, Muaro Jambi. Salah satu pokok ajaran yang tersohor, yakni Panca Widya yang menggabungkan lima unsur pengetahuan. Di antaranya kesusastraan, kedokteran, arsitektur, filsafat, dan ilmu batin (inner sciences). “Enggak mungkin orang membuat candi ini tanpa ada ajaran tentang arsitektur. Enggak mungkin kita bisa membuat relief indah tanpa kita belajar. Ada pendidikannya, dan di sini institusinya,” paparnya.
Agus menambahkan, selain melakukan konservasi bangunan candi, pihaknya juga menggalakkan kegiatan konservasi lingkungan. Kegiatan pelestarian lingkungan melibatkan masyarakat setempat yang terdiri dari enam desa bermitra dengan korporasi seperti Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BDLF) di bawah binaan PT. Djarum.
“Lingkungannya ini dulunya kawasan ini masih tertutup hutan. Bagaimana hutan-hutan kita konservasi tetap menjadi hutan tetapi bersandingan dengan cagar budayanya. Sehingga nanti kita bisa masuk ke sini seolah-olah ada Botani Garden yang di dalamnya ada bangunan candi dan cagar budaya. Ini cukup menarik,” pungkasnya.