Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman memberikan tanggapan atas wacana amandemen Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang muncul dalam beberapa waktu terakhir. Ia pun mengusulkan agar wacana tersebut didiskusikan setelah tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 rampung dilaksanakan.
"Hal tersebut penting kita tegaskan, agar jangan ada kecurigaan bahwa usulan tersebut digulirkan sebagai manuver politik kepentingan sejumlah pihak saja," ujar Habiburokhman dalam keterangan resminya, pada Jumat (18/8).
Pasalnya, kata Habiburokhman, ketika tahapan pemilu telah selesai dilaksanakan, maka susunan pemerintahan yang baru telah terbentuk. Hal itu sejalan dengan terbentuknya susunan anggota DPR periode baru.
"Pasca usainya Pemilu 2024, artinya sudah ada pemerintahan yang baru dan juga DPR periode baru, sehingga tidak ada ruang kecurigaan akan adanya manuver politik perebutan kekuasaan semata," katanya.
Di samping itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menegaskan perlunya komitmen seluruh pihak untuk mendorong agar Pemilu 2024 dapat berlangsung lancar. Ia menilai, penting untuk menjaga agar pesta demokrasi mendatang tidak terganggu akibat silang sengketa akan wacana amandemen tersebut.
Sebagaimana diketahui, wacana amandemen UUD 1945 itu kembali digulirkan oleh DPD RI, yang menilai perubahan konstitusi pada 1999 hingga 2002 telah melahirkan konstitusi yang meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi negara. Oleh karena itu, DPD menilai perlunya penyempurnaan dan penguatan kembali konstitusi melalui teknik adendum konstitusi.
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI, Rabu (16/8) lalu, menyebut ada lima poin amandemen yang pihaknya tawarkan berdasarkan sidang paripurna DPD RI yang dilaksanakan pada pertengahan Juli lalu. Salah satu di antaranya adalah mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Senada dengan La Nyalla, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet juga mengusulkan agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Hal itu dilatarbelakangi oleh amandemen UUD 1945 setelah Indonesia memasuki era reformasi.
Dalam UUD yang berlaku saat ini, MPR yang semula berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara harus bertransformasi menjadi lembaga tinggi negara. Oleh karena itu, MPR tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu.
Bamsoet mengatakan, dengan dikembalikannya kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, maka MPR akan kembali memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan yang bersifat peraturan.
Hal itu disebutnya dapat menjadi jawaban apabila terjadi kevakuman pengaturan dalam konstitusi Indonesia, apabila terjadi kondisi tak terduga yang berdampak pada penundaan pemilu seiring habisnya masa jabatan para pemangku kebijakan pada periode sebelumnya.