Jakarta, Gatra.com - Presiden RI Joko Widodo mengaku berlapang dada dengan ujaran kebencian yang kerap kali dilontarkan kepadanya. Meski demikian, ia menyayangkan bahwa ujaran kebencian itu dapat mengikis budaya luhur yang sejak dulu dimiliki oleh Indonesia.
"Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, planga-plongo, tidak tahu apa-apa, Fir’aun, tolol. Ya enggak apa-apa, sebagai pribadi saya menerima saja," kata Jokowi dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/8).
"Yang membuat saya sedih budaya santun budi pekerti luhur bangsa ini, kok kelihatannya mulai hilang? Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah," imbuhnya.
Jokowi pun menyebut serangkaian ujaran kebencian itu sebagai polusi bagi budaya di Tanah Air. Ia mengatakan, ungkapan-ungkapan semacam itulah yang dapat terus melukai keluhuran dan budi pekerti bangsa Indonesia.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menyatakan, betapa presiden bukanlah posisi yang nyaman untuk diduduki, sebagaimana dipersepsikan oleh berbagai pihak. Pasalnya, ada sangat banyak tanggung jawab yang harus diemban ketika jabatan itu tersemat di depan nama seseorang.
"Banyak permasalahan rakyat yang harus diselesaikan dan dengan adanya media sosial seperti sekarang ini. Apapun, apapun bisa sampai ke Presiden. Mulai dari masalah rakyat di pinggiran sampai kemarahan, ejekan, bahkan makian dan fitnahan," katanya.
Kendati demikian, Jokowi meyakini bahwa tak semua masyarakat nyaman dengan budaya baru yang dapat mengikis budi pekerti bangsa itu. Ia memandang, mayoritas masyarakat juga kecewa dengan fenomena yang disebutnya sebagai polusi budaya itu.
"Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik. Bersatu menjaga mentalitas masyarakat sehingga kita bisa tetap melangkah maju, menjalankan transformasi bangsa. Menuju Indonesia Maju," tandasnya.