Home Gaya Hidup Balita Hingga Lansia Perankan Drama Kolosal Perjuangan di Sukoharjo

Balita Hingga Lansia Perankan Drama Kolosal Perjuangan di Sukoharjo

Sukoharjo, Gatra.com - Dalam rangka menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-78, ratusan warga Dukuh Karangpoh dan Kluwih, Desa Lengking, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, menggelar drama kolosal, Selasa (15/8/2023). Drama kolosal perjuangan ini, mengangkat tema Indonesia Merdeka.

Drama kolosal yang berlangsung selama 30 menit tersebut, semula menceritakan keadaan perkampungan di tahun 1879 yang tentram. Warga kampung terlihat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti anak kecil yang tengah asik bermain mainan tradisional, congklak, dacon dan jamuran.

Namun tiba-tiba, mereka diserang oleh kawanan tentara Belanda yang membawa senjata tajam. Kedatangan mereka pun lantas memporak-porandakan perkampungan tersebut. Masyarakat pun diminta untuk kerja paksa atau rodi.

Belum habis penderitaan selama 3,5 abad, datang tentara Jepang, datang dan langsung mengobrak-abrik. Kegiatan paling kejam adalah romusa, dimana mereka mempekerjakan tanpa upah dan pulang tinggal nama.

Lalu Soekarno Hatta memimpin pergerakan pemuda indonesia dan tercapailah kemerdekaan. Hingga akhirnya, para pejuang muda merobek paksa Bendera Belanda dan Bendera Jepang dan mengganti dengan Bendera Merah Putih dibawah Soekarno-Hatta.

Dalam pertunjukan, Para warga ini, juga berdandan total. Ada yang mengenakan pakaian ala tentara penjajah lengkap dengan senjata buatan sendiri, ada pula yang berdandan layaknya perempuan masa lampau dengan mengenakan kemben. Tak hanya itu, beberapa warga juga berdandan seolah menjadi warga terjajah yang digambarkan memiliki banyak luka lengkap dengan properti bikinan mereka sendiri.

Dalam momen tersebut masyarakat terlihat haru serta memekikkan MERDEKA! sebagai penyemangat. Bendera yang berhasil diturunkan kemudian dibuang hingga akhirnya salah seorang pemain mengibarkan bendera menggunakan bambu.

Penggagas acara sekaligus budayawan asal dukuh setempat, Antonius Bimo Wijanarko, mengatakan, drama kolosal ini melibatkan balita hingga lansia.

"Ini kita membuat sebuah pertunjukan sederhana yang diikuti lebih dari 100 orang, mereka memainkan tentara Belanda, tentara Jepang, penjajah, pejuang, masyarakat yang nantinya digambarkan ayem Tentrem, pahlawan daerah namun gagal karena diadu domba oleh penjajah. Dan puncaknya Bendera Jepang dan Bendera Belanda diturunkan diganti Bendera Merah Putih," kata pria yang akrab disapa Kokor tersebut.

Kokor menjelaskan, persiapan drama kolosal ini hanya berlangsung selama dua minggu, empat kali latihan.

Menurutnya, pada latihan di hari pertama, beberapa warga terlihat kaku. Namun karena kegigihannya, mereka berhasil menjiwai peran mereka masing-masing.

"Hari pertama rasanya canggung, tapi setelah pertemuan kedua mungkin belajar dari internet akhirnya timbul ide, oh iya saya harus begini-begitu itu akhirnya masuk. Dan ini spontan, tidak ada skripnya," jelasnya.

Melalui drama kolosal ini, Kokor mengajak seluruh rakyat warga Indonesia agar tidak semena-mena memaki negaranya sendiri.

“Ayolah tidak, Inilah negara yang wajib kita tresnani, jangan berbuat aneh-aneh, kita bangun Indonesia ini dari budi pekertinya, dari segala bidang,” tandas Kokor.

Ketua RT Dukuh Kluwih yang memerankan Muhammad Hatta, Yanto, mengaku drama tersebut menjadi bentuk ucapan rasa terima kasih warga kepada para pejuang. Hal sama juga diungkapkan Ketua RT Dukuh Karangpoh, Maryono, yang memerankan Ir. Soekarno. Sebagai rakyat kecil, ia ingin mengajak dan mengenang jasa para pahlawan.

“Ini meneruskan jerih payah para pejuang untuk mengisi kemerdekaan. Kami mengajak keluarga kami untuk selalu rukun mengisi kemerdekaan. Kami benar-benar menjiwai bagaimana susahnya perjuangan para rakyat yang saat ini kita nikmati hasilnya,” ungkapnya.

Sementara itu sesepuh setempat yang juga turut mengikuti drama tersebut, Lasiem (84) mengaku senang atas Indonesia Merdeka. Sebab iasempat merasakan bagaimana sulitnya hidup di zaman penjajahan, dimana dirinya harus bersembunyi di gua untuk bisa selamat dari buruan penjajah. Tak hanya itu, makanan juga sulit ditemukan pada masa penjajahan.

“Kakak saya dulu juga dikejar-kejar para penjajah di Klewer. Setelah merdeka ini enak, sehat, kuat. Bisa berpakaian rapi dan juga makan kenyang,” ucap wanita sepuh tersebut dalam Bahasa Jawa.

63