Jakarta, Gatra.com – Peneliti Hukum dan Konstitusi dari SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah, berpendangan bahwa kuatnya dinamika respons publik terhadap pernyataan Rocky Gerung (RG) merupakan pelintiran kebencian terhadap yang bersangkutan.
“Bahwa kasus ini sesungguhnya merupakan bentuk pelintiran kebencian atas RG. Substansi kritik RG sesungguhnya mewakili aspirasi publik yang selama ini tersumbat atau disumbat,” ujarnya dalam keterangan pers diterima pada Jumat (11/8).
Menurutnya, kemarahan dan keonaran artifisial yang saat ini mengemuka, nyatanya hanya ditunjukkan oleh kelompok relawan dan pegiat demonstrasi musiman. Sebagian besar masyarakat lebih berfokus pada substansi, sekalipun menyayangkan pilihan diksi Rocky Gerung.
Sesuai pandangan Cherian George pada 2017?, kata Sayyidatul, hate spin atau pelintiran kebencian adalah gabungan dari konsep ujaran kebencian (hate speech) dengan kemarahan karena ketersinggungan (offence-taking). Ini banyak digunakan oleh para “entrepreneur” politik untuk memobilisasi pendukung dan menyerang kelompok sasaran tertentu.
“RG menjadi korban pelintiran ini, setelah pernyataannya direspons secara berjarak dengan jeda waktu dari peristiwa dan orkestrasi struktural,” ujarnya.
Peneliti senior SETARA Institute dan Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani, menyampaikan, hingga 7 Agustus ini setidaknya ada 13 laporan polisi terkait kritikan Rocky Gerung atas kebijakan negara di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, terjadi sejumlah aksi demonstrasi artifisial di beberapa tempat.
“Di tengah kohesi sosial yang segregatif, pro dan kontra atas pernyataan RG sangat mungkin terjadi dan sangat mungkin sengaja dibuat, sehingga terjadi keonaran,” katanya.
Kualitas demokrasi dan keadaban publik yang semakin ringkih telah memungkinkan pernyataan Rocky Gerung menjadi kapital politik bagi conflict entrepreneur dan avonturir politik untuk memainkannya secara terbuka guna menunjukkan prestasi semu pada patron politiknya dan memetik insentif politik elektoral pihak manapun yang berkontes.
Menurut Ismail, dibanding repot mencari-cari delik pidana untuk menjerat Rocky Gerung, jika memang tidak bisa mengabaikan berbagai pelaporan warga dan relawan Jokowi, Polri bisa mengambil langkah moderat dengan menerapkan restorative justice sekaligus memainkan peran dialog dengan pihak-pihak yang berkeberatan.
“Polri bisa menjadi jembatan demokratik untuk tetap menjaga ruang publik tetap sehat dan demokratis. Sekaligus memutus praktik berulang tuduhan pembungkaman dengan menggunakan instrumen hukum,” katanya.