Home Hukum Evaluasi Kinerja DPR, Formappi: Bombastis dalam Rencana, Gembos pada Hasil

Evaluasi Kinerja DPR, Formappi: Bombastis dalam Rencana, Gembos pada Hasil

Jakarta, Gatra.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai DPR masih tidak optimal dalam menjalankan fungsi legislasinya, pada Masa Sidang V Tahun Sidang 2022-2023. Pandangan itu ditengarai minimnya jumlah Rancangan Undang-undang (RUU) dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 yang telah disahkan menjadi UU.

Adapun, selama Tahun Sidang 2022-2023, baru ada 2 dari total 39 RUU Prioritas yang telah disahkan oleh DPR. Pertama, RUU Landas Kontinen yang telah disahkan pada Masa Sidang IV. Kedua, RUU Kesehatan Omnibus Law yang disahkan pada Masa Sidang V silam dan menuai kontroversi dari sejumlah pihak akibat pengesahan yang dinilai terlalu terburu-buru hingga substansi UU yang menghapuskan kebijakan mandatory spending.

"Pencapaian 2 UU baru dari 39 RUU yang diprioritaskan tahun ini jelas bukan jumlah yang membanggakan. DPR masih mempunyai beban 37 RUU Prioritas lain untuk dibahas hingga akhir tahun ini," ujar Peneliti Formappi I Made Leo Wiratma, di Kantor Formappi, Jakarta, Kamis (10/8).

"Minimnya hasil legislasi DPR menunjukkan kinerja DPR yang tidak optimal dan selalu bombastis dalam rencana tetapi gembos pada hasil akhirnya," imbuh Made.

Di samping itu, Formappi juga menyoroti langkah DPR untuk menyisipkan RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sebagai RUU usul inisiatif DPR di tengah daftar RUU prioritas lama yang masih menumpuk.

Terlebih, Formappi menilai bahwa alasan yang dikemukakan DPR untuk mendasari langkah penyisipan itu terkesan sangat populis. Pun, menurut Formappi, sudah ada banyak kebijakan negara untuk mengatasi persoalan desa dengan UU Desa yang ada saat ini. Oleh karenanya, Formappi menganggap bahwa alasan tersebut cenderung merujuk pada kebutuhan politik DPR dan partai politik dibanding kebutuhan warga.

"Apalagi kalau benar bahwa revisi UU Desa ini lebih banyak difokuskan pada isu masa jabatan kepala desa dan staf serta pendapatan mereka. Maka kian jelas jika revisi ini sesungguhnya pencitraan politik saja. Dengan kata lain, revisi UU Desa adalah keinginan DPR, bukan kebutuhan warga masyarakat di desa," ujar Made.

Dengan demikian, Formappi memandang bahwa pertimbangan DPR dalam membahas RUU semata-mata didasarkan oleh faktor keinginan. Hal itu juga ditunjukkan dalam dinamika penyusunan RUU Perampasan Aset yang dinilai jauh lebih mendesak, namun justru terhambat pembahasannya karena tak kunjung ditindaklanjuti sejak masuknya Surat Presiden (Surpres) pada awal Mei silam.

"Jika pertimbangan pembahasan RUU adalah kebutuhan bangsa, maka seharusnya kelambanan menindaklanjuti surpres RUU Perampasan Aset tak bisa dipahami. Lagi-lagi DPR menunjukkan bahwa dinamika pembahasan RUU bagi mereka sangat ditentukan oleh faktor keinginan, bukan kebutuhan bangsa. RUU Perampasan Aset itu nampak tak diinginkan DPR walau dibutuhkan bangsa," tegas Made.

Selain itu, Formappi juga mencatat adanya kebiasaan DPR untuk memperpanjang proses pembahasan RUU. Bahkan, perpanjangan itu berlangsung hingga melebihi batas normal, yakni 3 kali masa sidang.

Pada rapat paripurna Penutupan Masa Sidang V, DPR memutuskan untuk memperpanjang proses pembahasan 6 RUU. Keenamnya antara lain:

1. RUU Tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT)

2. RUU Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE)

3. RUU Tentang Perubahan atas RUU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN)

4. RUU Tentang Hukum Acara Perdata

5. RUU Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

6. RUU Tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

"Kelonggaran aturan terkait durasi pembahasan RUU ini sungguh memanjakan DPR. Mereka tak terpacu untuk bekerja karena satu RUU yang tidak bisa diselesaikan tepat waktu selalu mungkin diperpanjang tanpa batasan," ucap Made dalam konferensi pers itu.

Formappi pun menyebut batas waktu dalam proses pembahasan kebijakan menjadi tidak bermakna, apabila ruang untuk memperpanjang proses pembahasan selalu leluasa diberikan. Apalagi, perpanjangan pembahasan sederet RUU itu pun dipandang tidak disertai dengan alasan yang jelas.

45