Jakarta, Gatra.com – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam), Mahfud MD, mengatakan, banyak aset milik masyarakat hukum adat (MHA) hilang karena Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) tak kunjung disahkan.
“Masalah-masalah yang dicatat dari pengalaman saya, berlarut-larut aset masyarakat adat ini hilangnya banyak, karena belum ada undang-undangnya,” kata Mahfud dalam acara Konferensi Internasional Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia yang dihelat secara hybrid dari Nusantara IV, DPR RI, Jakarta, Senin (7/8).
Adapun aset milik masyarakat hukum adat di sejumlah daerah di Indonesia yang raib, itu misalnya hutan, sungai, dan lainnya karena dikuasi oleh investor baik dalam dan luar negeri karena mendapat legitimasi dari pemerintah setempat.
Ia menjelaskan, meski Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, baik sebelum dan sesudah amandemen mengakui keberadaan masyarakat hukum adat di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ini perlu UU dan peraturan turunannya untuk memperkuat keberadaan MHA dan berbagai aset milik mereka.
Raibnya aset-aset, khususnya tanah ulayat karena masuknya investor yang mendapat legitimasi dari Pemda setempat. Investor pun merasa punya legalitas atas lahan atau tanah yang sebenarnya merupakan tanah ulayat atau adat.
“Pimpinan daerah kadang kala serahkan ke investor. Setelah diserahkan, [investor] merasa punya dokumen hukum. Ini punya masyarakat adat, [kata investor] tidak bisa karena kami sudah dapat dari Pemda,” katanya.
Selain belum adanya UU MHA, hilangnya tanah atau lahan milik masyarakat adat ini juga di antaranya karena pemekaran wilayah. Awalnya, di satu daerah itu terdapat satu masyarakat hukum adat, kemudian wilayahnya dimekarkan atau dibagi menjadi dua atau lebih.
Perkara pemekaran daerah ini pernah ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Pemekaran daerah membuat masyarakat adat dan pemerintah adat menjadi terpisah, satu ke wilayah lama dan lainnya ke wilayah baru. Ini terjadi karena belum ada UU MHA.
“Sementara investor terus merangsek masuk. Untung kita punya DPR, MPR, akademisi yang tetap selalu menyuarakan masyarakat adat,” ujarnya.
Persidangan perkara tersebut di MK akhirnya tidak dapat diterima karena belum adanya UU MHA. Selain itu, terjadi saling klaim di antara MHA.? Mahfud menyarankan agar Pemda yang memberikan tanah ulayat kepada investor harus mengembalikannya.
“Begitu mau diputus, datang orang lain, 'Pak kepala adatnya bukan dia, saya. Karena belum ada UU-nya, semua mengklaim sebagai kepala adat. Apa buktinya, saya punya mahkota, [yang lain] punya keris, punya tombak,” katanya.
“Akhirnya MK menyatakan gugatan tidak dapat diterima, bukan ditolak. Karena simbol-simbol adat ini tidak muncul, apakah yang punya mahkota, atau yang punya tombak atau keris,” ujarnya.
Mahfud kembali menyampaikan, itu terjadi karena belum ada UU MHA. Sementara UU-nya belum ada, tanah itu hilang satu per satu. Kekayaan masyarakat hukum adat hilang satu persatu,” katanya.
Ia mengaku tidak tahu apa yang menjadi tolok ukur batas-batas tanah ulayat atau adat saat ini. ?Sebelum zaman penjajahan, batasnya adalah sampai titik mana teriakan pihak adat dapat didengar.
“Sejauh kau teriak dan bisa didengar orang, di situlah kekuasaanmu. Berteriak oooi, oh sana, yang sana [milik] masyarakat adat berikutnya,” kata dia.
Agar MHA tidak terus kehilangan ulayat atau tanahnya, maka RUU MHA yang sudah sekitar 21 tahun berada di DPR harus segera dibahas dan disahkan.
“Ini untuk menjamin kelangsungan dan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat. Mari melalui? konferensi ini kita dorong bersama-sama DPR, MPR, bersama saya nanti akan mencoba kita dorong masuk Prolegnas,” katanya.
Saat ini perlu langkah nyata. Pasalnya, kalau didiskusikan terus masalahnya akan terus bertambah. Kalaupun RUU MHA yang kemudian disahkan menjadi UU MHA terdapat kekurangan atau kekeliruan, itu bisa diperbaiki.
“Perbaiki saja. Kalau menunggu lengap, enggak jadi. Kalau saya, bisa kita lakukan saat itu kita lakukan,” katanya.
Mahfud tidak sependapat dengan usulan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni bahwa RUU MHA ini baiknya dibahas dan disahkan pada DPR dan Presiden periode mendatang.
“Tahun 2014 [RUU MHA] masuk Prolegnas, sampai sekarang tidak jalan, saya kira tidak usah nunggu tahu pemilu karena ini tidak ada kaitannya dengan tahun politik. Politik elektoralnya enggak ada,” ucapnya.
Menurutnya, siapapun bangsa Indonesia kalau suka pada UU ini, apapun parpolnya, enggak ada kaitan elektoralnya. “Kecuali tentu saja calon-calon konglomerat, korporasi internasional, tapi dengan politik elektoral tidak ada,” katanya.
Atas dasar itu, Mahfud menyampaikan, RUU MHA ini harus didukung oleh semua pihak. “Mumpung ada Pak Sahroni, Pak Bambang [Soesatyo], masukkan ke Prolegnas, karena sudah lama, bayangkan sudah 21 tahun,” ujarnya.