Jakarta, Gatra.com – Presiden Jokowi telah resmi membubarkan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pengakhiran Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Pertimbangan presiden menerbitkan Perpres tersebut adalah karena status pandemi Covid-19 telah dinyatakan berakhir. Kini statusnya berubah menjadi endemi Covid-19 di Indonesia. Dengan demikian, perlu ada aturan pengakhiran penanganan pandemi Covid-19.
“KPCPEN telah berakhir masa tugasnya dan dibubarkan,” begitu bunyi Pasal 1 Perpres tersebut yang ditetapkan Presiden Jokowi pada 4 Agustus 2023, dilansir Antara, Sabtu (5/8/2023).
Eks Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama, merespons penetapan Perpres tersebut. Menurutnya, penetapan Perpres ini sudah tepat.
“Praktis di semua negara dan bahkan dunia secara keseluruhan maka situasi penyakit COVID-19 memang sudah terkendali dalam beberapa bulan terakhir ini,” uajrnya dalam pernyataan tertulis, Minggu, (6/8/2023).
Di samping itu, Tjandra juga menilai positif aturan yang teruang dalam Pasal 2 Ayat 2 Perpres tersebut. Pasal itu menyatakan bahwa penanganan Covid-19 yang bersifat lintas kementerian, lembaga dan/atau pemerintah daerah, berpedoman pada standar operasional prosedur penanganan Covid-19, yang meliputi pelibatan kementerian, lembaga, dan/atau pemerintah daerah terkait; penugasan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); serta kerja sama dalam pengadaan vaksin, obat, dan alat kesehatan sesuai kebutuhan dan pendanaan.
Pada dasarnya, imbuh dia, penanganan masalah kesehatan memang memerlukan peran lintas sektor. Hal itu tidak bisa ditangani oleh sektor kesehatan semata, dan tak hanya meiputi penyakit Covid-19 atau penyakit menular lainnya saja.
“Jadi usul konkrit saya, akan baik kalau di waktu-waktu mendatang berbagai sektor terkait dapat terus meningkatkan peran sertanya dalam pengendalian masalah kesehatan masyarakat kita. Pengalaman menunjukkan bahwa ‘health is not everything, but without health everything is nothing’. Juga kita semua sudah sepakat bahwa ‘When health is at risk, everything is at risk,’” kata Tjandra.
Dengan terbitanya Perpres ini, maka sejarah mencatat bahwa pandemi Covid-19 merupakan penyakit menular kedua yang status pengendaliannya diterapkan sampai ke tingkat Perpres. Sebelumnya, pada 2021, terbit Perpres No. 67/2021 tentnag Penanggulangan Tuberkulosis.
Dalam Perpres Tuberkulosis itu, tercantum dengan jelas apa saja target yang akan dicapai pada 2030, termasuk jumlah insiden dan mortalitas tuberkulosis. Untuk menerapkan target yang sama terhadap Covid-19, ia menyadari bahwa hal itu tentu tak mudah.
“Tetapi setidaknya saya mengusulkan agar dibuat semacam rencana strategik (strategic plan) penanganan Covid-19 di tahun-tahun mendatang. Usul saya ini sejalan dengan apa yang sudah dilakukan WHO,” kata Tjandra.
Seperti diketahui, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa Covid-19 bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Keputusan itu diikuti dengan terbitnya Global Strategic Preparedness, Readiness and Response Plan (SPRP) untuk periode 2023-2025 yang bertajuk “From emergency response to long-term COVID-19 disease management: sustaining gains made during the COVID-19 pandemic”.
“Jadi kalau Perpres kita di Agustus 2023 maka akan baik kalau diterbitkan pula dokumen strategik penanganan Covid-19 Indonesia periode 2023 sampai 2025 (kalau mau mengikuti pola WHO), atau mungkin juga sampai 2030 (kalau mau mengikuti pola Perpres No. 67/2021 tentang tuberkulosis),” tandas Tjandra.