Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) akan kembali memanggil mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit pada Januari 2022–April 2022.
“Tim penyidik akan kembali mengirimkan surat pemanggilan berikutnya,” kata Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), di Jakarta, Senin (31/7).
Ketut menjelaskan, penyidik akan kembali memanggil Lutfi karena yang bersangkutan tidak akan memenuhi panggilan untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut.
Tim Penyidik Pidana Khusu (Pidsus) Kejagung, sebelumnya memanggil Muhammad Lutfi secara patut melalui Surat Panggilan Saksi Nomor: SPS-2494/F.2/Fd.2/07/2023 tanggal 27 Juli 2023.
Muhammad Lutfi diminta hadir untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Jakasa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada Rabu, 2 Agustus 2023.
“Atas pemangilan tersebut, saksi ML [Muhammad Lutfi] selaku mantan Menteri Perdagangan RI mengonfirmasi bahwa yang bersangkutan dipastikan tidak hadir,“ ujarnya.
Muhammad Lutfi mengonfirmasi tidak akan memenuhi panggilan pada Rabu lusa melalui kuasa hukumnya dari Kantor NKHP Law Firm melalui surat resmi yang diterima Tim Penyidik Nomor: 178/NKHP/VII/2023 tanggal 31 Juli 2023.
“ML [Muhammad Lutfi tidak hadir] dikarenakan sedang mendampingi pengobatan sang istri,” ujar Ketut.
Kejagung kembali mengusut kasus ini menindaklanjuti putusan pengadilan terhadap para terdakwa perkara korupsi ekspor CPO ini. Kejagung kemudian melakukan pendalaman.
Kejagung menetapkan Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup sebagai tersangka kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari–Maret 2022.
Penetapan status ketiga korporasi tersebut menindaklanjuti putusan perkara lima terdakwa dalam perkara ini yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kelima terdakwanya divonis pidana penjara dalam rentang waktu 5–8 tahun.
Ketut mengungkapkan, dalam putusan perkara tersebut terdapat satu hal yang sangat penting, yaitu Majelis Hakim memandang perbuatan para terpidana adalah merupakan aksi korporasi.
Majelis Hakim menyatakan bahwa yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi, tempat di mana para terpidana bekerja. Maka dari itu, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya.
“Kejaksaan Agung segera mengambil langkah penegakan hukum dengan melakukan penyidikan korporasi, guna menuntut pertanggungjawaban pidana serta untuk memulihkan keuangan negara,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, lanjut Ketut, Negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp6,47 triliun akibat perkara ini. Selain itu, perbuatan para terpidana juga telah menimbulkan dampak siginifikan.
“Terjadinya kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan [daya beli] masyarakat, khususnya terhadap komoditi minyak goreng,” ujarnya.
Ketut mengatakan, dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat terhadap komoditi minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp6,19 triliun.