Jakarta, Gatra.com - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji memberikan respons atas pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim yang mengklaim kebijakan zonasi pada sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bukanlah program yang digagas olehnya, namun oleh pemangku kebijakan sebelum dirinya.
Menurut Ubaid, respons Nadiem itu bukanlah jalan keluar atas permasalahan yang timbul akibat implementasi sistem zonasi, namun hanya sebuah curahan hati semata. Sebagaimana diketahui, sistem tersebut banyak mendatangkan protes dari wali murid akibat dugaan adanya kecurangan yang berdampak pada perampasan hak bagi sejumlah calon peserta didik.
Belum lagi, pernyataan Presiden RI Joko WIdodo yang menyebut polemik PPDB tersebut sebagai permasalahan teknis di lapangan. Ditambah, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf juga sempat menyampaikan ide untuk mengembalikan sistem PPDB berdasarkan sistem sebelumnya, yakni seleksi berdasarkan prestasi alias nilai hasil ujian akhir sekolah.
"Melihat penyataan para pimpinan ini, JPPI menilai bahwa tidak ada pihak yang secara gentle bertanggung jawab atas kekisruhan ini, lalu menawarkan solusi yang berkeadilan bagaimana supaya tidak terjadi lagi kekisruhan tahunan ini. Semua cuci tangan dan lempar tanggung jawab," kata Ubaid Matraji dalam keterangannya, Senin (31/7).
Baca juga: Banyak Keluhan, Nadiem Diminta Perbaiki Pengawasan PPDB Zonasi
Ubaid mengatakan, kecenderungan 'cuci tangan' itu juga tampak pada kepala daerah. Ia menganggap, para pimpinan daerah tidak sadar dengan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh anak secara berkualitas dan berkeadilan.
Salah satunya, kata Ubaid, tergambar dalam proses PPDB di Jawa Barat. Di mana, ada 4.791 anak di Jawa Barat dan 208 anak di Kota Bogor yang namanya dicoret dan tidak diperbolehkan untuk ikut PPDB dengan alasan penertiban administrasi.
"JPPI mempertanyakan, bagaimana nasib mereka saat ini? Bagaimana pula nasib mayoritas anak bangsa yang sudah berjibaku daftar PPDB, tapi berujung pada kegagalan? Saya sebut mayoritas, karena sampai hari ini jumlah kursi yang disediakan di sekolah negeri terlalu minim dibanding total kebutuhan," ujarnya.
Ubaid mengatakan, pihaknya berpendapat bahwa polemik yang timbul selama proses PPDB bukanlah permasalahan teknis, melainkan masalah sistemik yang dipicu oleh peraturan di level pusat, yaitu Permendikbud (Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Nomor 1 Tahun 2021, yang masih menggunakan “sistem seleksi” dan pemerintah tidak menyediakan bangku sekolah sejumlah kebutuhan.
"Mau pakai sistem apapun, tapi daya tampung tak tersedia, kekacauan pasti akan terjadi," tegas Ubaid.
Selain itu, JPPI juga menolak usulan untuk mengembalikan PPDB pada sistem seleksi prestasi. Sebab, hal itu dipandang akan membawa pendidikan Indonesia kembali ke pola primitif yang dapat mengamputasi hak anak untuk dapat bersekolah.
"Bagaimana nasib anak-anak yang tidak berprestasi? Padahal mereka adalah sama-sama anak Indonesia yang punya hak yang sama," tutur Ubaid.
Baca juga: Banyak Kekurangan, Pemerintah Evaluasi PPDB Zonasi
Menurutnya, Mendikbudristek harus bertanggung jawab penuh dan mengubah sistem PPDB sebagaimana dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Dengan catatan, sistem yang baru mampu menjamin semua calon peserta didik akan mendapat jatah bangku sekolah, sekaligus mewajibkan seluruh pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan pihak swasta bila kursi di sekolah negeri tak mampu menampung kebutuhan.
"Sistem zonasi harus diterapkan berdasarkan pemerataan kursi dan mutu sekolah, sehingga, tidak ada lagi rebutan kursi karena semua kebagian. Begitu pula, tidak ada lagi penumpukan jumlah pendaftar, karena tidak ada mutu yang jomplang alias favoritisme," kata Ubaid.
Selain itu, ia juga menekankan bahwa pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
"Sekolah bebas biaya ini harus diterapkan di negeri dan swasta, minimal hingga jenjang SMP atau 9 tahun, dan sampai SMA/SMK bagi daerah-daerah yang menerapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun," tandas Ubaid.