Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka dalam kegiatan tangkap tangan dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) pada Selasa (25/7) lalu, dengan dua diantaranya masih aktif sebagai anggota aktif militer. Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan bahwa pada dasarnya, hal itu merupakan kewenangan KPK.
"Kabasarnas adalah jabatan sipil. Ketika dia ditempatkan di Basarnas, dia tunduk pada ketentuan administrasi, ketentuan hukum dan pengawasan di kementerian atau lembaga. Jadi KPK memiliki kewenangan," ujarnya dalam diskusi yang digelar secara hybrid, Minggu (30/7).
Polemik ini bermula ketika Kabasarnas RI periode 2021- 2023 Henri Alfiandi, serta Koorsmin Kabasarnas RI Afri Budi Cahyanto ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Namun, penetapan ini disangkal Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI Agung Handoko yang menilai operasi tangkap tangan (OTT) dan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto tidak sesuai dengan prosedur.
Baca Juga: Kabasarnas Tersangka KPK, Amnesty: Dibawa ke Pengadilan Militer Melanggar Asas Hukum
Isnur menegaskan bahwa dalam kasus ini, KPK berwenang dalam melakukan penyidikan kasus korupsi. Adanya pernyataan dari pihak TNI bahwa KPK melewati kewenangannya merupakan misinformasi. Sebab, ranah tindak pidana korupsi tetap menjadi kewenangan KPK.
Hal ini disepakati oleh Julius Ibrani dari Forum de Facto. Menurutnya, secara teori hukum pidana, penyelidikan dilakukan terhadap satu peristiwa hukum pidana yang sama berapapun jumlah tersangkanya. "Kasus Basarnas harusnya sama. Penyelidikannya dokumennya sama, mau sipil (swasta) atau anggota TNI yang terlibat, tidak boleh dipisah," katanya.
Penyelidikan yang berlangsung sejak 2022 lalu telah melalui proses panjang. Pemanggilan dan pengumpulan bukti, hingga KPK akhirnya menjalankan OTT merupakan satu rangkaian peristiwa hukum yang sama. Maka, status tersangka yang juga masih menjabat sebagai anggota aktif militer bukanlah menjadi fokus utama melainkan peristiwa hukumnya.
Julius menekankan bahwa dengan diserahkannya tersangka anggota TNI ke peradilan militer adalah langkah yang tidak tepat. Seharusnya, penyelidikan yang seluruhnya dilakukan KPK berujung pada peradilan umum yang mengadili semua aktor terlibat. Bila pada akhirnya dua tersangka diadili di peradilan militer, dampak yang mungkin terjadi adalah terjadinya ketidakabsahan.
"Jika KPK menyerahkan kasus ke TNI, maka dari awal konstruksi pemeriksaan oleh KPK dianggap runtuh semua. Karena sejak awal harusnya dikasih saja ke TNI, bukan sudah di tengah proses tiba-tiba diserahkan. Ini basis penyelidikannya tidak sah," urainya.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Dorong KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Kabasarnas
Ia mendorong KPK untuk menguatkan keyakinan atas kewenangan yang dimiliki. Penyelidikan harus dilanjutkan oleh KPK, dan pengadilan dilakukan secara bersamaan dan tidak dipisah di peradilan militer. "Ini absolut sudah diberikan ke ranah sipil karena perspektif sistem peradilan itu atas perbuatan, bukan atas orangnya," katanya.
Seperti diketahui, pada Selasa (25/7) lalu, KPK melakukan kegiatan tangkap tangan dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas. KPK mengamankan 11 orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp999,7 juta.
Lembaga antirasuah ini menetapkan lima tersangka yakni Kabasarnas RI periode 2021- 2023 Henri Alfiandi, Koorsmin Kabasarnas RI Afri Budi Cahyanto, Roni Aidil selaku Dirut PT Kindah Abadi Utama. Kemudian Mulsunadi Gunawan sebagai Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati dan Marilya yang menjabat Dirut PT Intertekno Grafika Sejati.