Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan bahwa kasus dugaan korupsi BTS 4G yang membelit Johnny Gerard Plate hingga pemanggilan Airlangga Hartarto dalam kasus ekspor CPO dan produk turunannya murni penegakan hukum dan tidan ada unsur politis.
“Belakangan ini, setiap penanganan perkara besar selalu dikaitkan dengan politisasi, yang kebetulan tahunnya lagi tahun politik. Yang jelas, apa yang dilakukan Kejaksaan Agung adalah murni penegakan hukum,” kata Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung di Jakarta, Minggu (30/7).
Ketut menyampaikan, penanganan kasus dugaan korupsi BTS 4G dan ekspor CPO atau produk turunannya hingga pemanggilan dan pemeriksaan Airlangga Hartarto sebagai saksi itu bukan tiba-tiba dan tanpa alasan.
“Pemanggilan AH [Airlangga Hartarto] itu bukan tiba-tiba dipanggil tanpa alasan dan tanpa proses, tetapi dengan adanya Putusan MA [Mahkamah Agung],” ujarnya.
Ia menjelaskan, putusan MA terhadap 5 terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari–Maret 2022 tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Sudah dihukum oleh MA rata2 5-8 tahun pidana penjara kelima terpidana tidak dibebani uang pengganti sebesar Rp6,47 triliun,” ujarnya.
Atas dasar itu, lanjut Ketut,? untuk menindaklanjuti putusan MA ini dalam rangka pengembalian kerugian Negara (recovery asset), Kejagung menetapkan 3 group korporasi menjadi tersangka.
Ia menegaskan, untuk mendudukkan persoalan hukum tersebut secara terang menderang dan objektif terkait kebijakan diambil di tengah kelangkaan Migor [minyak goreng] pada saat itu maka diperlukan pemanggilan yang bersangkutan.
“Jadi pemanggilan AH dan ML sama sekali tidak ada kaitannya dengan politisasi, murni adalah untuk keperluan pembuktian,” ujarnya.
Karena itu, Kejagung meminta jangan mengait-ngaitkan dan menarik pihaknya ke ranah politik. “Yang jelas pegangan penyidik sepanjang untuk membuat terang peristiwa hukum dan untuk kepentingan penyidikan siapapun bisa dipanggil untuk memberikan keterangan,” katanya.
Kejagung tidak memanggil seseorang berdasarkan tekanan, pesanan maupun isu ataupun rumor. “Semua semata-mata untuk kepentingan pembuktian, penyidik bekerja sudah on the track dan profesional,” ujarnya.
Sebelumnya, Kejagung memeriksa Airlangga sebagai saksi dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan produk turunannya. Pemeriksaan pada Senin (24/7), tersebut berlangsung sekitar 12 jam.
Pria yang mendapuk ketua umum (Ketum) Partai Golkar itu mengaku menjawab sekitar 46 pertanyaan setelah sebelumnya tidak memenuhi panggilan pertama pada 18 Juli 2023.
“Saya hari ini hadir menjawab pertanyan-pertanyaan yang tadi sampaikan dan saya telah menjawab 46 pertanyaan dan mudah-mudahan bisa menjawab semua,” katanya.
Selain Airlangga, Kejagung juga telah memeriksa sejumlah saksi, di antaranya SS, M, AS, J, E, dan GS dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya tersebut.
“Saksi AH [Airlangga Hartarto] diperiksa untuk perkara atas nama terpidana Indrasari Wisnu Wardhana dkk,” ujar Ketut.
Kejagung memeriksa Airlangga Hartarto ini untuk menindaklanjuti fakta-fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta beberapa waktu lalu soal kasus dugaan korupsi CPO tersebut.
“Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan fakta-fakta persidangan yang menimbulkan fakta-fakta hukum baru yang perlu didalami oleh tim penyidik,” ujarnya.
Kejagung kembali mengusut kasus ini menindaklanjuti putusan pengadilan terhadap para terdakwa perkara korupsi ekspor CPO ini. Kejagung kemudian melakukan pendalaman.
Kejagung menetapkan Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup sebagai tersangka kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari–Maret 2022.
Penetapan status ketiga korporasi tersebut menindaklanjuti putusan perkara lima terdakwa dalam perkara ini yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kelima terdakwanya divonis pidana penjara dalam rentang waktu 5–8 tahun.
Ketut mengungkapkan, dalam putusan perkara tersebut terdapat satu hal yang sangat penting, yaitu Majelis Hakim memandang perbuatan para terpidana adalah merupakan aksi korporasi.
Majelis Hakim menyatakan bahwa yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi, tempat di mana para terpidana bekerja. Maka dari itu, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya.
“Kejaksaan Agung segera mengambil langkah penegakan hukum dengan melakukan penyidikan korporasi, guna menuntut pertanggungjawaban pidana serta untuk memulihkan keuangan negara,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, lanjut Ketut, Negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp6,47 triliun akibat perkara ini. Selain itu, perbuatan para terpidana juga telah menimbulkan dampak siginifikan.
“Terjadinya kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan [daya beli] masyarakat, khususnya terhadap komoditi minyak goreng,” ujarnya.
Ketut mengatakan, dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat terhadap komoditi minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp6,19 triliun.