Asahan, Gatra.com - Kabupaten Asahan, Sumatera Utara (Sumut), dipastikan mengalami defisit beras secara besar-besaran. Asahan dinyatakan sudah defisit hingga 3 ribu ton beras. Produksi padi lokal tak mampu lagi untuk memenuhi kecukupan beras. Perlu konsep strategis untuk mengatasinya.
Berdasarkan hasil penelitian Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Pemkab Asahan, Abdul Rasyid Tambunan, dengan menggunakan metode Doble Exponetial Smoothing Brown, sejak tahun 2021 hingga 2023, Asahan telah mengalami defisit kecukupan beras hingga rata-rata 3.129,4 ton per tahun. Bahkan pada 2024 diprediksi bahwa kabupaten ini juga akan mengalami defisit beras yang sama dengan tahun sebelumnya.
Defisit kecukupan beras ini terjadi akibat dari ketidakcukupan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk karena kebutuhan beras sudah pasti berbanding lurus dengan tingkat pertambahan penduduk.
Dari data sampling (2012-2021) dalam riset ini, pada tahun 2012 kebutuhan beras masyarakat di Kabupaten Asahan hanya mencapai 89.886,36 ton per tahun dengan jumlah penduduk 677.876 jiwa. Pada tahun 2021, kebutuhan beras naik hingga 90.204,9 ton untuk kebutuhan 777.626 jiwa penduduk Asahan.
Menurut Rasyid, diperhitungkan defisit kebutuhan beras kabupaten Asahan rata-rata mencapai 27.416,21 ton per tahun. Ia menyampaikan data tersebut dalam Tesis Analisa Kecukupan Beras di Kabupaten Asahan, 2023.
Rasyid baru-baru ini menyampaikan, berlangsungnya kecukupan beras untuk kebutuhan masyarakat Kabupaten Asahan selama ini karena adanya suplai beras dari beras cadangan nasional (CBN, baik beras impor dari luar daerah maupun uar negeri yang disuplai Bulog.
Menyinggung data BPS yang menunjukkan terjadinya penurunan produksi padi dari 121.633,1 ton pada tahun 2017, yang kini hanya tersisa 73.134,47 ton pada tahun 2021 atau kehilangan 48.498,63 ton hanya dalam kurun waktu empat tahun, menurut Rasyid, ini sejalan dengan hasil risetnya tentang Analisa Kecukupan Beras di Kabupaten Asahan itu.
Meski barangkali berbeda sampling data, tapi dari data kedua-duanya pada intinya menunjukkan ada ancaman serius terhadap ketidakcukupan beras dari tingkat jumlah produksi padi yang dihasilkan oleh luas areal pertanian sawah petani lokal kabupaten ini.
Kebijakan Lintas Sektoral
Melirik hasil riset ini, Kadis Pertanian Pemkab Asahan, Hazairin, menegaskan, mesti ada konsep yang terpadu sebagai langkah strategis untuk mengantisipasi terjadinya defisit beras dari produksi sawah padi lokal. Menurutnya, meski hasilnya mungkin sudah pasti tidak lagi bisa surplus, tapi setidaknya, angka produksi padi lokal bisa didongkrak untuk membantu mencukupi angka kebutuhan beras masyarakat.
Menurut Hazairin, Konsep strategis ini harus terpadu dan lintas sektoral, yang melibatkan semua organisasi perangkat daerah (OPD) sehinga akhirnya melahirkan blue print dan master plan yang jelas tentang arah dan kebijakan pembangunan pertanian, terutama menyangkut masalah kecukupan beras ini.
Menurutnya, penanganan ini tidak hanya bisa dilakukan dari satu pendekatan, tapi harus dari berbagai sisi, sehingga masalah semakin jelas dan ada solusi. "Ini menjadi road map bagi pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan yang ada," sebutnya.
Menurut Hazairin, ada berbagai kebijakan alternatif untuk mendongkrak kembali produksi padi. Di antaranya ekstensifikasi dan program intensifikasi pertanian.
Akan tetapi, ia lebih sepakat jika program intensifikasi menjadi pilihan prioritas.
Program pencetakan sawah baru, sebagai program ekstensifikasi, meski barangkali solusi efektif untuk menggugah kembali peningkatan produksi padi, menurut Hazairin sangat sulit dilakukan. Karena menurutnya, pemerintah daerah tidak cukup hanya menyiapkan lahan baru, tapi juga harus menyiapkan sarana dan prasarana baru, dan ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
"Belum lagi kita akan terbentur persoalan kewenangan. Karena tidak semua ada dalam kewenangan pemerintah daerah," sebut Hazairin.
Ia lebih sepakat prioritas kebijakan diarahkan dalam kegiatan intensifikasi pertanian. Ketersediaan kebutuhan pupuk yang terjamin, penggunaan bibit berkualitas, serta penyediaan sarana dan prasarana pertanian yang baik. "Target kita bagaimana agar potensi areal persawahan yang ada, dari dua kali panen bisa menjadi tiga kali panen dalam setahun," ujarnya.
Ia menyebutkan, tentu saja dengan satu syarat, luasan areal pertanian sawah yang ada saat ini tidak lagi terganggu gugat dari aktivitas pengalihfungsian lahan. Soalnya dari hasil penelitian menunjukkan kabupaten ini telah kehilangan 1.794,96 hektare areal sawah selama kurun waktu 9 tahun (2012-2021) akibat kegiatan alih fungsi.
Padahal, Pemkab Asahan telah menerbitkan Perda Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perlndungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PL2PB) sebagai langkah hukum untuk menekan aktivitas ini.
Hazairin sepakat, perlu kebijakan-kebijakan penguatan regulasi. Menurutnya, Perda Nomor 3 Tahun 2017 itu bukan saja perlu direvisi untuk disesuaikan kembali dengan RTRW, tapi juga dikuatkan dengan menggelontorkan regulasi-regulasi baru untuk menopang pelaksanaqn Perda Nomor 3 Tahun 2017.
Dia mengakui, Perda tersebut belum berjalan efektif, sehinga kegiatan alih fungsi lahan masih saja terus berlangsung. Dari catatan Gatra.com, hingga saat ini tak satu pun petani atau pemilik lahan diganjar sanksi oleh Pemkab Asahan terhadap pelanggaran alihfungsi lahan pertanian. "Makanya kita memandang perlu ada penguatan," ujar Hazairin.
Ia menegaskan, Perda Nomor 3 Tahun 2017 harus berjalan efektif. Kemudian dikuatkan lagi dengan kebijakan melalui regulasi-regulasi baru untuk melindungi 6,7 ribu hektare sawah yang masuk dalam kesepakatan Pemkab Asahan dan ATR BPN tentang Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD). Jika tidak, sulit rasanya untuk menjamin areal sawah seluas 6,7 ribu hektare terdebut aman dari ancaman aktivitas alih fungsi.
Penguatan regulasi Perda Nomor 3 Tahun 2017 itu dapat dilakukan dengan melahirkan regulasi, di antaranya menyangkut subsidi dari pemerintah daerah kepada petani padi yang sawahnya masuk dalam areal yang dilindungi, regulasi subsidi kepada petani yang bersedia melakukan alih fungsi dari areal tanaman nonpadi menjadi padi sawah, serta regulasi lainnya yang dianggap perlu untuk memproteksi dampak degradasi areal persawahan.
"Jadi ada suprise tertentu yang diberikan pemerintah daerah, yang akan menjadi daya tarik tersendiri bagi petani untuk mempertahankan areal sawahnya atau berpaling dari tanaman nonpadi beralih fungsi menjadi areal pertanian sawah," katanya.
Dengan konsep strategis lintas sektoral tersebut, Hazairin yakin melorotnya produksi padi yang terjadi terus menerus saat ini bisa dihambat sehingga setidaknya dapat mendongkrak angka produksi padi di Kabupaten Asahan untuk menopang kecukupan beras.