Jakarta, Gatra.com – Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) mencecar Airlangga Hartarto soal tugas dan tanggung jawabnya selaku menteri Koordinator bidang Perekonomian tekait pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya.
“Pemeriksaan saksi AH [Airlangga Hartarto] dilakukan terkait tugas dan tanggung jawab saksi dalam kapasitasnya sebagai menteri,” kata Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung di Jakarta, Senin malam (24/7).
Ia menjelaskan, pemeriksaan Airlangga Hartarto tersebut dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit dalam rentang waktu Januari sampai dengan April 2022.
“Saksi AH [Airlangga Hartarto] diperiksa untuk perkara atas nama terpidana Indrasari Wisnu Wardhana dkk,” ujarnya.
Kejagung memeriksa Airlangga Hartarto ini untuk menindaklanjuti fakta-fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta beberapa waktu lalu soal kasus dugaan korupsi CPO tersebut.
“Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan fakta-fakta persidangan yang menimbulkan fakta-fakta hukum baru yang perlu didalami oleh tim penyidik,” ujarnya.
Berdasarkan putusan pengadilan terhadap para terdakwa perkara korupsi ekspor CPO ini, kata Ketut, Kejagung kemudian melakukan pendalaman dan menetapkan tiga korporasi sebagai tersangka, yakni Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musi Mas Grup.
“Pemeriksaan [Airlangga Hartarto] selama 12 jam dengan 46 pertanyaan yang dijawab dengan baik oleh saksi,” katanya.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup sebagai tersangka kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari–Maret 2022.
Penetapan status ketiga korporasi tersebut menindaklanjuti putusan perkara lima terdakwa dalam perkara ini yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).? Kelima terdakwanya divonis pidana penjara dalam rentang waktu 5–8 tahun.
Ketut mengungkapkan, dalam putusan perkara tersebut terdapat satu hal yang sangat penting, yaitu Majelis Hakim memandang perbuatan para terpidana adalah merupakan aksi korporasi.
Majelis Hakim menyatakan bahwa yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi, tempat di mana para terpidana bekerja. Maka dari itu, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya.
“Kejaksaan Agung segera mengambil langkah penegakan hukum dengan melakukan penyidikan korporasi, guna menuntut pertanggungjawaban pidana serta untuk memulihkan keuangan negara,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, lanjut Ketut, Negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp6,47 triliun akibat perkara ini. Selain itu, perbuatan para terpidana juga telah menimbulkan dampak siginifikan.
“Terjadinya kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan [daya beli] masyarakat, khususnya terhadap komoditi minyak goreng,” ujarnya.
Ketut mengatakan, dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat terhadap komoditi minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp6,19 triliun.