Jakarta, Gatra.com – Deputi Direktur Eksekutif Masyarakat dan Alam Indonesia (Madani) Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, meminta Pertamina meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati pascamerencanakan merilis bahan bakar Pertamax Green 95 yang merupakan campuran antara bensin Pertamax dengan bioetanol berbahan dasar tetes tebu.
Giorgio dalam keterangan pers diterima pada Kamis (20/7), menyampaikan, pihaknya menilai bahwa kebijakan tersebut bisa membawa Indonesia satu langkah lebih dekat kepada transisi energi dan kemandirian energi apabila ditindaklanjuti dengan penganekaragaman sumber bahan bakar nabati.
Ia mengungkapkan, Pertamina melalui anak perusahaan PT Pertamina Niaga akan mulai mengedarkan secara terbatas Pertamax Green 95 yang terbuat dari campuran bensin Pertamax (95%) dengan bioetanol (5%) pada Juli ini. Bioetanolnya berbahan dasar molase atau tetes tebu yang merupakan produk sampingan atau sisa dari proses pembuatan gula.
“Campuran energi berkelanjutan Indonesia masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, inovasi berbahan dasar tetes tebu ini bisa dilihat sebagai langkah kecil awal menuju pemanfaatan sumber-sumber bahan bakar berkelanjutan lainnya, terutama yang berasal dari residu atau limbah,” kata Giorgio.
Ini bukan kali pertama Pertamina membaurkan bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati (BBN). Sejak 2008, Pertamina mencampurkan diesel dengan biodiesel berbahan dasar minyak sawit yang baurannya saat ini mencapai 35%, sesuai dengan kebijakan B35 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sampai saat ini, lanjut Giorgio, minyak sawit adalah satu-satunya bahan baku BBN yang pemanfaatannya mendapatkan mandat dan insentif dari pemerintah.
“Ekspansi perkebunan sawit masih memiliki risiko sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, selagi terus memperbaiki tata kelola sawit, pemerintah juga perlu mengoptimalkan penggunaan aneka sumber bahan baku dalam pengembangan BBN generasi kedua, yang berasal dari sampah atau limbah,” katanya.
Giorgio mengungkapkan, sumber-sumber lain tersebut bisa berupa minyak jelantah, tongkol jagung, tetes tebu seperti yang digunakan Pertamax Green 95, limbah-limbah pertanian, dan lain sebagainya.
Ia juga menekankan bahwa diversikasi atau penganekaragaman sumber bahan bakar sejalan dengan target Indonesia untuk beralih kepada energi berkelanjutan dalam rangka mengurangi emisi.
Di dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, Indonesia menargetkan agar, pada tahun 2050, BBN menyumbang 46% dari total energi sektor transportasi.
“Pencapaian target LTS-LCCR 2050 tersebut memerlukan andil berbagai bahan baku agar Indonesia tidak bergantung kepada minyak sawit saja. Karena ketergantungan berlebihan terhadap satu bahan baku memiliki banyak risiko dari sisi ekonomi, sosial, dan ekologi,” ujarnya.
Selain mendukung transisi energi, Giorgio juga menyoroti keunggulan lain dari diversikasi bahan baku BBN, yakni mendukung kemandirian energi. Diversikasi bahan baku BBN merupakan wujud upaya memaksimalkan sumber daya energi domestik yang kemudian bisa memberikan stimulus bagi perekonomian di berbagai daerah.
“Perlu diingat, berbagai daerah di Indonesia memiliki potensi sumber BBN yang berbeda-beda yang patut, tetapi belum, dikembangkan,” katanya.
Giorgio juga mendorong masyarakat untuk memilih bahan bakar yang berkelanjutan. Dengan cara tersebut, masyarakat bisa ambil andil dalam meningkatkan demand domestik terhadap energi berkelanjutan.