Home Nasional APHA akan Serahkan Hasil Konferensi Internasional kepada Presiden Jokowi

APHA akan Serahkan Hasil Konferensi Internasional kepada Presiden Jokowi

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) akan menggelar konferensi internasional bertajuk “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tingkat Nasional dan Internasional” yang hasilnya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ketua APHA Indonesia, Dr. Laksanto Utomo, di Jakarta, Rabu (19/7), mengatakan, pihaknya akan menyerahkan rekomendasi tersebut agar Jokowi melihat lagi kondisi masyarakat hukum adat dipunggungi dan hanya diberi angin surga saat jelang pileg dan pilpres.

“Setelah adanya rekomendasi dari International Conference APHA ini, diharapkan akan ada keputusan dari pemerintah yang tegas dan memihak kepada masyarakat adat,” ujarnya.

Ketua Panitia International Conference APHA, Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., MA, menyampaikan, konferensi internasional yang bakal dihelat pada Senin–Selasa (7–8/8) di Ruang Nusantara MPR RI ini menghadirkan sejumlah narasumber kredibel.

Adapun ‎narasumbernya, kata Kunthi, terdiri dari keynote speakers dan speakers. Untuk keynote speaker-nya adalah Ketua MPR, Bambang Soesatyo; Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni; dan Menkopolhukam, Mahfud MD.

Sedangkan speakers-nya dari dalam dan luar negeri. Untuk dalam negeri Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H., dari Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, M.A., dari Universitas Indonesia (UI). Sedangkan pembicara dari luar negerinya, yakni Hanayo Hirai, PhD., dari Oteman Gakuin University dan Jacqueline Vel, PhD., dari University of Laiden.

 “Kita juga mengharapka hadir narasumber dari luar negeri, di antaranya dari Belanda, Australia, dan Filipina,”‎ ujarnya.

Menurutnya, para narasumber dari dalam dan luar negeri tersebut memiliki kepakaran dalam hukum adat. Pihaknya menghadirkan narasumber dari luar negeri sebagai perbandingan dan memberikan arahan agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat menjadi UU.

Konferensi internasional tersebut merupakan hasil kerja sama antara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) dengan APHA, Universitas Pancasila (UP), Universitas Trisakti (Usakti), Universitas Nasional (Unas), dan Universitas Borobudur (Unbor).

Ia mengatakan, konferensi internasional ini sangat penting untuk menyikapi berbagai dinamika yang dihadapi masyarakat hukum adat di Indonesia dan berbagai negara di belahan dunia.

Ia menjelaskan, keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia dan berbagai negara menghadapi berbagai dinamika dan tantangan yang mendorong masyarakat internasional harus membuat kerangka dan norma.

Negara-negara yang mempunyai masyarakat hukum adat harus melakukan penyesuaian hukum domestiknya, tidak terkecuali Indonesia untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Terlebih lagi, meski sudah banyak kajian mengenai masyarakat hukum adat, namun pengakuan dan perlindungan hukum terhadap mereka di berbagai negara, khususnya Indonesia masih jauh panggang dari api.

“Indonesia sampai saat ini belum memiliki perangkat hukum yang bersifat khusus dan komprehensif tentang masyarakat hukum adat,” ujarnya.

Belum adanya panduan secara jelas tentang pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat tersebut sehingga menimbulkan perdebatan yang berimplikasi pada pengakuan serta implementasi perlindungan hukum masyarakat adat.

Ia mengungkapkan, sebenarnya beberapa instrumen hukum internasional sudah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, misalnya Konvensi International Labour Organitation (ILO) Number 169 dan United Declaration on the Right of Indigenous People.

Begitupun di Indonesia, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (3).

Ia menyampaikan, pasal tersebut menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa bahwa Negara Republik Indonesia menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dengan segala aspeknya, termasuk pemerintahan dan hukum dalam sistem hukum adat, hak-hak ekonomi dan lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat, hak atas sumber daya alam, dan lain sebagainya.

Namun demikian, masih diperlukan persyaratan administratif yang potensial membelenggu masyarakat adat. Salah satunya harus ada peraturan khusus untuk menjembatani masyarakat adat dengan negara.

Aturan khusus tersebut berupa undang-undang dan peraturan turunannya yang jelas, lengkap, dan relevan sebagai perlindugan kedaulatan masyarakat adat dalam mewujdukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sayangnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang ajukan pada tahun 2002 dan diubah menjadi RUU Masyarakat Hukum Adat yang masuk dalam Badan Legislasi (Baleg) pada tahun 2020 belum juga disahkan.

Belum disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat itu karena terjadi tarik ulur kepentingan politik pemerintah atau eksekutif dan DPR atau legislatif. Kondisi tersebut mendorong APHA untuk membahasnya.

Terlebih lagi, masyarakat hukum adat dihadapkan berbagai persoalan yang tak kunjung selesai, di antaranya tanggung jawab negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah lingkar tambang dan sumber daya alam, pemenuhan hak-hak perempuan dan anak masyarakat hukum adat, perkembangan hukum perekonomian adat, aspek peradilan adat, politik hukum pemenuhan hak masyarakat adat, dan seterusnya.

Ia menyampaikan, selain kepada Presiden Jokowi, pihaknya akan menyerahkan rekomendasi hasil konferensi kepada MPR agar lembaga hukum tertinggi negara tersebut dapat menjadi perantara rakyat kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan lebih lanjut dalam pembangunan nasional.

623