Home Info Sawit Pakar ini Ingatkan Satgas Tata Kelola Sawit Jangan Sampai 'Menabrak Tembok'

Pakar ini Ingatkan Satgas Tata Kelola Sawit Jangan Sampai 'Menabrak Tembok'

Jakarta, Gatra.com - Hari ini Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara menggelar sosialisasi Self-Reporting Tata Kelola Kelapa Sawit di Pekanbaru.

Semua Bupati, walikota dan para kepala dinas yang mengurusi perkebunan di Riau, diundang pada acara yang berlangsung sejak pukul 13:00 Wib itu. Termasuk Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) cabang Riau dan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Gawe semacam ini menjadi kali ketiga setelah sebelumnya digelar di Palangkaraya Kalimantan Tengah pada 6 Juli 2023 dan Medan Sumatera Utara 13 Juli 2023.

Dalam setiap gawe tadi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selalu hadir memaparkan versi kawasan hutannya.

Di sinilah masalah itu kemudian muncul. Pakar Hukum Kehutanan, Dr. Sadino, SH,.MH menyebut, Satgas bakal 'menabrak tembok' kalau hanya mengacu pada versi KLHK.

"Satgas enggak akan bisa ngapa-ngapain. Paparan basi KLHK itu enggak akan bisa dijalankan. Toh KLHK sendiri enggak bisa menghasilkan apa-apa sejak UUCK ada," ujar Dosen Hukum Universitas Al-Azhar Jakarta ini.

Alasan Sadino mengatakan Satgas bakal 'menabrak tembok' lantaran alat Satgas bekerja hanya "mendasarkan" ketentuan hukum di bidang kehutanan.

"Sementara hukum kehutanan versi KLHK saat ini adalah mengatur negara dalam negara. Artinya hanya mengatur negara kehutanan, seolah-olah hukum lain tidak mesti diperhatikan dan diikuti," katanya.

Di sisi lain, yang mau diselesaikan oleh Satgas saat ini sesungguhnya sangat kompleks. Sebab banyak hak konstitusional para pihak yang justru telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 34 tahun 2011 tapi diabaikan oleh KLHK.

Bunyi putusan itu begini; Pasal 4 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sepanjang tidak dimaknai, "Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional".

Pasal 4 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak

Masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional".

Hak kepemilikan komunal (adat), hak masyarakat, hak perusahaan yang sudah diberikan oleh pemerintah, termasuk oleh pemerintah daerah hingga gubernur, ini kata Sadino adalah hak konstitusional yang harus dihormati.

Hak konstitusional pemerintah daerah saat otonomi daerah, masih berlaku. Termasuk hukum yang hidup di masyarakat.

Sudah saatnya Satgas Tata Kelola Sawit menelisik sampai sejauh itu. Sebab tugasnya mendorong "mobil yang mogok" yang selama ini menjadi domain dari KLHK sendirian.

Dengan adanya Satgas kata Sadino, diharapkan dapat meluruskan yang bengkok dan menyelesaikan persoalan yang sudah berlarut-larut terkait sengkarut "kawasan hutan dalam kebun sawit".

Istilah kawasan hutan dalam kebun sawit muncul lantaran kebun sawit yang sudah dilengkapi hak atas tanah seperti SHM masyarakat lokal --- termasuk di Riau --- dan pendatang seperti masyarakat transmigrasi juga dimasukkan dalam kawasan hutan.

"Yang sudah HGU juga begitu, dimasukkan juga dalam kawasan hutan. Tentunya ini sudah tidak sesuai dengan UU Kehutanan itu sendiri," terangnya.

Mestinya hak-hak konstitusional tadi otomatis dikeluarkan dari klaim kawasan hutan.

Nah, fenomena semacam ini harus dimasuki Satgas biar permasalahan itu dapat dilihat lebih komprehensif agar kemudian secepatnya bisa menyelesaikan masalah kawasan hutan dalam kebun sawit.

"Dengan adanya Satgas yang beranggotakan Kementrian/Lembaga dan Aparat Penegak Hukum, saya pikir penyelesaiannya akan lebih mudah dan lebih cepat," Sadino memastikan.

Lelaki 57 tahun ini kemudian mengkritisi bahwa persoalan yang terjadi saat ini sesungguhnya bukanlah sawit dalam kawasan hutan, tapi hak atas tanah yang diklaim berada pada kawasan hutan.

"Itu harus digarisbawahi. Masyarakat Indonesia saat ini tidak hanya memperjuangkan hak atas tanahnya, tapi juga living law. Hukum yang hidup di masyarakat. Agar masyarakat jangan menjadi korban dari kebijakan kehutanan itu," tegasnya.

Selain menelisik jauh soal hak-hak atas tanah tadi kata Sadino, Satgas juga mestinya bisa menilai apakah kawasan hutan versi KLHK itu sudah prosedural atau belum.

"Di Riau, kawasan hutan sesungguhnya itu yang mana? Karena penetapan kawasan hutan yang dilakukan tidak legitimate dan terlihat tanda-tanda pengukuhan kawasan hutan tidak sesuai UU Kehutanan, malah kadang masih hanya main tunjuk saja. Hanya melihat dari sisi batas luarnya. Sementara dalam kaidah pengukuhan kawasan hutan, batas itu tidak hanya di luarnya, tapi justru yang di dalamnya itu yang paling pokok," katanya.

Sadino kemudian mencontohkan begini; KLHK menunjuk sehamparan kawasan hutan. Lalu di dalam hamparan yang ditunjuk itu ada hak-hak para pihak ketiga. Yang di dalam ini juga harus ditatabatas. "Hak para pihak dikeluarkan," ujarnya.

Lelaki ini pun berharap kepada Satgas agar orang yang menyampaikan data (self reporting) melalui Siperibun, diberi kesempatan untuk klarifikasi dan verifikasi. Jangan meniru KLHK yang tanpa klarifikasi dan verifikasi langsung main putuskan.

"Buka ruang publik untuk orang bisa berargumen soal riwayat hak atas tanahnya. Hak konstitusionalnya. Biar fungsi Satgas ini benar-benar menjadi jembatan yang bisa menghasilkan titik temu. Kalau self reporting itu kemudian langsung disimpulkan dan disuruh membayar seperti hasil Timdu KLHK yang bersifat KLHK centris, tentu itu harus diubah oleh Satgas untuk menemukan penyelesaian yang lebih baik dan berkeadilan, sesuai semangat UUCK. Dan begitu, pembenahan tata kelola sawit bisa lebih baik, pendapatan negara bisa diperoleh tanpa mengganggu kepastian berusaha di bidang perkebunan kelapa sawit. Pekerja sawit pun tidak kena PHK" panjang lebar Sadino mengurai.


 

158