Jakarta, Gatra.com – Sejumlah 26% karyawan di Indonesia memiliki tingkat stres paling rendah dalam kehidupan sehari-hari dibanding karyawan di negara lainnya di kawasan Asia. Angka tersebut lebih rendah dari rata-rata atau rerata karyawan di Asia (44%).
“Meski demikian, hampir sebagian dari mereka (45%) mengaku pernah bekerja saat kondisi mental yang tidak sehat,” kata Wulan Gallacher, Managing Director Mercer Marsh Benefits Indonesia, dalam keterangan pers diterima pada Jumat (14/7).
Wulan menjelaskan, ini merupakan hasil survei dan laporan Health on Demand 2023 dari Mercer Marsh Benefits, unit bisnis dari Marsh McLennan yang merupakan Konsultan manfaat kesejahteraan dan kesehatan karyawan terkemuka.
Survei tersebut dilakukan terhadap lebih dari 17.500 karyawan di 16 pasar seluruh dunia, termasuk lebih dari 5.200 karyawan di Asia, mengenai prioritas kesehatan dan kesejahteraan mereka sehingga perusahaan mampu berupaya memenuhi kebutuhan karyawan dengan lebih baik lagi.
Laporan tersebut tidak hanya menemukan bahwa relevansi dan nilai dari manfaat kesejahteraan merupakan sebuah isu bagi karyawan di Indonesia, tetapi juga mendapati adanya kesenjangan perlindungan yang semakin melebar, khususnya di antara pekerja dengan upah rendah, pengasuh (caregiver), dan perempuan.
Ia menjelaskan, mengatasi rasa burnout dimulai dengan memastikan rasa aman secara psikologis di tempat kerja. Saat ini, para perusahaan terkemuka mengatasi permasalahan utama yang menyebabkan karyawan merasa stres di tempat kerja sebagai bagian dari strategi manfaat kesejahteraan yang komprehensif dan inklusif.
Strategi tersebut, lanjut dia, misalnya meninjau kembali desain pekerjaan dan kompetensi para supervisor, mengatur target dan ekspektasi yang rasional, menciptakan budaya kebersamaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, serta menawarkan manfaat kesejahteraan, seperti perawatan terkait kesehatan mental, dan bahkan pelatihan untuk mengatasi tantangan kesehatan mental.
Meningkatkan kesehatan mental karyawan membutuhkan solusi dan manfaat kesejahteraan yang inovatif. Di Indonesia, layanan yang ditargetkan untuk kesehatan mental anak muda sebesar 46%, pelatihan untuk mengenali dan mengatasi tantangan kesehatan mental sebanyak 41%, serta asuransi atau program untuk meringankan beban biaya perawatan kesehatan mental dan konseling virtual dengan terapis sejumlah 39% dirasa akan bermanfaat bagi karyawan maupun keluarganya.
Selain itu, kata dia, laporan tersebut juga menunjukkan adanya korelasi positif antara penawaran manfaat kesejahteraan yang lebih banyak dengan tingkat kepuasan karyawan. Hasil menyebutkan bahwa karyawan yang memperoleh sepuluh atau lebih manfaat kesejahteraan lebih cenderung percaya bahwa perusahaan memperhatikan aspek kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Mereka juga merasa lebih berkembang dalam melakukan peran dan tanggung jawab di tempat kerja dan lebih kecil kemungkinannya untuk meninggalkan perusahaan tersebut. Selain itu, mereka juga lebih yakin bahwa mereka mampu membayar biaya perawatan kesehatan yang dibutuhkan keluarganya.
“Walau demikian, hanya 17% karyawan di Indonesia yang mendapatkan lebih dari sepuluh manfaat kesejahteraan, dengan lebih dari separuhnya atau 56% hanya menerima hingga empat manfaat kesejahteraan saja,” katanya.
Meskipun ada 78% karyawan di Indonesia yang merasa bahwa perusahaan memperhatikan aspek kesehatan dan kesejahteraan mereka, hanya 65% dari mereka yang mengatakan bahwa manfaat kesejahteraan yang didapatkan sesuai dengan kebutuhannya.
Wulan mengungkapkan, para manajer risiko dan sumber daya manusia (SDM) perlu meninjau kembali relevansi dan nilai dari manfaat kesejahteraan yang mereka berikan untuk karyawan dan mencari langkah inovatif dalam membantu karyawan untuk lebih berkembang dan berkinerja dengan baik.
Sekitar 83% karyawan di Indonesia merupakan pengasuh (caregiver) bagi keluarga atau teman mereka, dan manfaat kesejahteraan, seperti pengaturan kerja yang fleksibel, izin cuti, serta manfaat kesejahteraan yang disubsidi adalah yang paling bermanfaat bagi mereka.
Walau demikian, laporan tersebut mengungkapkan adanya kesenjangan perlindungan di antara kelompok pekerja pengasuh di tempat kerja, dengan 28% melaporkan bahwa pengeluaran terkait perawatan medis menjadi penyebab mereka dan keluarganya mengalami kesulitan finansial, dan hal ini lebih besar jika dibandingkan dengan mereka yang bukan pengasuh atau non-caregiver (23%).
Hasil temuan juga menunjukkan bahwa mayoritas karyawan yang merupakan pengasuh (caregiver) tidak mendapat manfaat kesejahteraan yang seharusnya mereka dapatkan, dengan hanya 16% mendapat manfaat kesejahteraan untuk anak-anak, dan 14% dari mereka mendapat manfaat kesejahteraan untuk orang dewasa. Angka ini lebih rendah dari rata-rata di Asia, yaitu 30% dan 33%.
Laporan tersebut juga mengungkapkan kesulitan yang dihadapi oleh karyawan berpenghasilan rendah atau pekerja paruh waktu di Indonesia. Hampir setengah, yakni 45% dari mereka tidak mendapat akses tanggungan kesehatan dari perusahaan tempatnya bekerja.
“Dampaknya, 1 dari 5 atau 20% karyawan dengan pendapatan di bawah median tidak yakin bahwa mereka mampu membayar biaya perawatan kesehatan yang dibutuhkan,” ujarnya.
Mengingat krisis biaya hidup dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan di Indonesia, memberikan edukasi seputar perencanaan finansial yang mendukung pengeluaran perawatan kesehatan kepada generasi pekerja awal, yang juga dikenal sebagai kelompok kerja Gen-Z, perempuan, dan orang tua muda menjadi penting.
Pemberian manfaat kesejahteraan terkait kesehatan reproduksi juga dinilai penting oleh banyak karyawan di Indonesia. Meski sebanyak 44% karyawan di Indonesia menganggap pemeriksaan pencegahan kanker sangat bermanfaat bagi mereka atau keluarganya, namun hanya 24% karyawan yang mendapat akses untuk merasakan manfaat ini.
Selain itu, manfaat kesejahteraan lainnya, seperti suplemen menopause (13%), akses terhadap kontrasepsi (19%), dan suplemen pendukung kesuburan (13%) juga dianggap masih kurang diperhatikan.
“Biaya perawatan kesehatan yang meningkat, harapan karyawan pasca-COVID-19 yang berubah, dan pergeseran demografi di Indonesia saat ini memengaruhi strategi akuisisi dan retensi talenta yang diterapkan oleh perusahaan,” kata Wulan.
Ia menyampaikan, perusahaan yang memahami kebutuhan karyawannya dapat menciptakan perubahan inklusif dan berdampak bagi kesejahteraan dan kepuasan tenaga kerja mereka secara keseluruhan.
“Laporan Health on Demand ini menggarisbawahi peran penting dari adanya manfaat kesejahteraan karyawan yang berarti, dan pentingnya memenuhi kebutuhan dari tenaga kerja yang beragam,” ujarnya.
Pihaknya menilai mengatasi adanya kesenjangan perlindungan yang dirasakan oleh kelompok rentan yang kurang terlindungi, seperti perempuan, karyawan berpenghasilan rendah, dan pekerja paruh waktu merupakan hal yang krusial untuk dilakukan demi menjamin perkembangan seluruh karyawan dalam karier mereka.
Krisis-krisis ekonomi makro, lingkungan, dan politik yang sedang terjadi juga memengaruhi keseluruhan kinerja, produktivitas, dan kesejahteraan karyawan.
“Kami menganjurkan para perusahaan untuk meninjau kembali strategi manajemen talenta dan pemberian manfaat kesejahteraan guna memastikan kekhawatiran karyawan di tengah situasi krisis yang terus berlanjut dapat diatasi dengan baik,” ujar Wulan.
Menurutnya, dengan memupuk budaya kepedulian, dan memprioritaskan serta menyediakan manfaat kesejahteraan di lingkungan yang aman dan mendukung, perusahaan dapat mendorong tingkat keterlibatan dan kesuksesan karyawan, serta pertumbuhan organisasi.