Yogyakarta, Gatra.com - Lembaga Jogja Corruption Watch (JCW) mengkritik pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan HB X yang menyatakan bahwa penggeledehan kantor dan rumah Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY Krido Suprayitno atas perintahnya.
Hal itu disampaikan Baharuddin Kamba, Koordinator Divisi Pengaduan Masyarakat dan Monitoring Peradilan JCW, Kamis (13/7) malam, merespons pernyataan Sultan.
"Jika seorang kepala daerah dalam hal ini Gubernur DIY Sri Sultan HB X meminta aparat penegak hukum untuk melakukan sesuatu dalam hal ini penggeledahan di rumah dan kantor Kepala Dispertaru DIY, ini dapat dimaknai sebagai intervensi hukum," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Padahal, menurut dia, jika merujuk pada KUHAPidana, perintah penggeledahan berasal dari Pengadilan Negeri setempat bukan kepala daerah.
JCW berharap permintaan Gubernur DIY Sri Sultan HB X terkait penggeledahan rumah dan kantor Kepala Dispertaru DIY, Krido Suprayitno, sebagai dukungan moril penuntasan dugaan penyelewengan tanah kas desa, bukan sebagai intervensi hukum.
"Aparat penegak hukum yang menangani perkara tanah kas desa diharapkan tetap on the track dalam penuntasannya," kata Kamba.
Selain itu, menurut Kamba, Gubernur DIY Sri Sultan HB X tidak perlu meminta aparat penegak hukum untuk melakukan sesuatu dalam hal ini penggeledahan, karena bukan kewewangan seorang kepala daerah.
"Pemberantasan korupsi mengalami kemajuan jika kepala daerah mendukung penuntasan perkara dugaan korupsi tanpa harus meminta atau memerintahkan aparat penegak hukum berbuat atau tidak berbuat," ujarnya.
Sebelumnya Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan langkah Kejaksaan Tinggi DIY memeriksa kantor Dispertaru DIY, Rabu (12/7), merupakan perintahnya.
“Tidak ada masalah (soal penggeledahan), wong seizin saya. Saya yang minta. Supaya data bisa lengkap dan siapapun yang melibatkan diri penyalahgunaan TKD harus kami periksa. Siapapun itu,” tegas Sultan, Kamis (13/7) di kompleks Pemda DIY, Kepatihan, Yogyakarta.
Penggeledahan itu guna mengumpulkan dokumen di kasus mafia tanah kas desa yang melibatkan tersangka Direktur PT Deztama Putri Sentosa, Robinson Salino dan Lurah Caturtunggal non-aktif, Agus Santoso.
Keduanya disangkakan melanggar pasal 2 dan 3 Jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait penyalahgunaan TKD dengan kerugian negara sekitar Rp 2,9 miliar.