Lamongan, Gatra.com - Debat Qanun menjadi ajang yang cukup bergengsi di serangkaian acara Musabaqah Qira’atil Kutub Nasional (MQKN) 2023 yang digelar di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur.
Debat ini menjadi panggung terbuka bagi mahasantri untuk saling lempar argumen baik pro maupun kontra terhadap tema yang kontekstual. Sehingga, ini bisa menjadi ajang mahasantri rumuskan jawaban atas persoalan masyarakat di era kini.
Salah satu dewan hakim di ajang Debat Qanun, Khamami Zada mengatakan, dalam debat Qanun ini mahasantri ditantang untuk bisa merumuskan semacam pemikiran bagaimana mereka merespons perkembangan baru di masyarakat.
Baca Juga: MQKN Jadi Potret Indonesia Mainkan Peran Penting Kemajuan Ilmu Keagamaan di Level Global
“Sehingga nanti ketika lulus InsyaAllah bisa memberikan jawaban atas kegelisahan masyarakat di dalam soal soal baru yang dihadapi masyarakat,” ujarnya.
Jalannya Debat Qanun untuk Ma’had Aly ini sangat kompetitif. Masing-masing kelompok itu menampilkan argumennya dengan baik dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan hukum dan dengan pendekatan syariat. Hal tersebut, menjadi pendekatan yang baru dan masing-masing kelompok mencoba membangun argumen sekaligus mematahkan argumen lawannya masing-masing.
“Tema yang diangkat pada Debat Qanun ini adalah tema yang kontekstual sesuai perkambangan yang ada di Indonesia. Jadi soal mata uang digital, soal dana haji, soal ganja untuk kepentingan medis dan beberapa tema lain. Itu adalah tema yang kontekstual,” terangnya.
Semua aspek, kata dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, dilihat satu persatu mulai dari isi materi substansi yang diperdebatkan dengan aspek logika berpikir. Dan yang paling penting adalah pada aspek isi ilogika berpikir dan unsur bahasa ini yang paling kuat atau paling besar nilainya. “Ini harus dipertimbangkan oleh para peserta,” katanya
Khamami menilai Debat Qanun ini menjadi hal yang menarik dan baik sekali bagi para mahasantri di Ma’had Aly. Karena pada Debat Qanun ini mahasantri bisa mengombinasikan antar pengetahuan-pengetahuan di bidang hukum perundang-undangan dengan syariat.
“Ini nantinya menjadi hukum islam yang kontekstual. Jadi tidak hanya berbasis pada hal-hal yang normatif dalam pengertian hukum sayariat tapi juga mencoba melihat pada aspek hukum negara,” terangnya.
Baca Juga: Kemenag Cairkan Dana BOP Rp381 Miliar untuk Raudhatul Athfal di Seluruh Indonesia
Dia pun menyarankan supaya para mahasantri yang terlibat dalam Debat Qanun agar mereka mencoba membangun dua perspektif yang sangat kuat. “Perspektif yang bukan hanya pada norma hukumnya, tetapi juga pada aspek filsafat hukumnya. Ini yang belum kelihatan,” ungkapnya.
Menurutnya, para mahasantri sudah sangat baik membangn perspektif filsafat hukum islamnya, itu sudah sangat banyak tapi untuk pendekatan filsafat hukumnya belum kelihatan.
“Jadi perlu dicari lagi bagaimana mengombinasikan antara filsafat hukum isalam dalam bentuk kaidah Ushul Fiqih dan juga filsafat hukum dalam pengertian umum,” jelasnya.
Salah satu peserta Debat Qanun, Muhammad Nazal Furqony,23, mengungkapkan bahwa dirinya lega setelah selesai Debat Qanun pada sesinya. “Perasaan saya lega tapi masih ada yang kurang sreg karena kami masih merasa banyak poin yang belum kami sampaikan karena keterbatasan waktu,” katanya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa Debat Qanun ini menjadikan dia dan rekannya semangat untuk belajar. “Kami mengamalkan semangat belajar karena belajar adalah jalan terbaik menuju tuhan,” ujar mahasantri Ma’had Aly dari Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, Jawa Timur setelah turun dari panggung.
Nazal mengungkapkan bahwa tema yang diperdebatkan sudah diberitahukan semuanya. Dari semua tema tersebut, lanjut dia, kami persiapkan dari sisi pro maupun kontranya. “Kedua argumen dari sisi persiapan argumen dari ulama-ulama salafnya kita siapkan,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Nazal, untuk pendukung dari sisi umum dia menyiapkan artikel dari website, atau berita untuk kita kontekstualisasi dengan masalah yang ada.
“Di Al Falah Ploso, kami belajarnya dengan perbandingan madzhab. Jadi dari 4 madzhab itu kita kaji semua. Madzhab Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi. Khusus Madzhab Syafi’i karena itu yang banyak dianut sebagian besar orang di Indonesia maka itu dimusyawarahkan di pagi hari setiap hari. Kalau untuk madzhab lain, kata dia, itu dibagi di malam harinya dan hanya dipelajari inti intinya saja,” katanya.
Baca Juga: Kemenag Ajak Pendakwah Tolak Politik Identitas di Rumah Ibadah
Mengenai keseharian untuk kontekstualisasi kehidupan era kini, kata dia, di pesantren ada ekstrakurikuler batsul masail yang mana dibiasakan sebagai santri harus bisa solutif bagi masyarakat tentang permasalahan yang terjadi di era kini. “Jadi untuk debat Qanun ini tidak jauh berbeda dengan batshul masail yang kami lakukan,” ujarnya.
Selain Nazal, Nusron Kamal (23) peserta Debat Qanun kelompok lainnya dari Ma’had Aly Nurul Burhany Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, Jawa Tengah mengungkapkan bahwa dia merasa bertambah ilmu.
“Karena debat ini bukan hanya beradu argumen tapi juga saling bertukar ilmu antara pro dan kontra tadi yang mana kita juga ada ilmu yang kita tahu,” katanya.
Dia mengungkapkan pada ajang Debat Qanun ini tujuan utamanya bukanlah juara melainkan sharing ilmu. “Juara bukan harapan, yang terpenting bagi kami itu memang dari awal sudah berniat dari awal saling sharing ilmu. Juara itu bonus, jika tidak menang kita punya nilai plus dapat ilmu,” tandasnya.