Jakarta, Gatra.com - Konflik tanah antara masyarakat dengan korporasi membuat masyarakat tidak menempuh jalur pengadilan untuk menyelesaikannya. Hal ini diutarakan peneliti sekaligus penulis buku berjudul Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia, Ward Berenschot.
"Karena UU tidak ditegakan, masyarakat cenderung tidak percaya prosedur resmi. Mereka terpaksa fokus pada strategi negosiasi, mediasi, mencoba dengan hubungan politik untuk menekan perusahaan supaya memberi kompensasi lebih banyak," terangnya dalam acara peluncuran buku tersebut, Kamis (13/7).
Dari 150 kasus yang ditelitinya sejak 2019 lalu, hanya sebesar 37 kasus atau 25% persoalan konflik tanah yang dibawa ke pengadilan. Mayoritas sejumlah 109 kasus atau sebesar 73% masyarakat memilih untuk melakukan mediasi dan fasilitasi.
"Maksudnya praktiknya cenderung tidak ke arah merealisasikan hak mereka tapi ke arah memperbaiki situasi tawaran mereka sendiri," lanjutnya.
Ward mengatakan bahwa upaya masyarakat melakukan mediasi membutuhkan dukungan dari politisi lokal. Maka, peran pemerintah daerah sangat penting dalam upaya masyarakat mengupayakan haknya.
Peneliti sekaligus tim penulis lainnya, Afrizal, menerangkan bahwa hasil mekanisme resolusi konflik yang sudah berjalan tidak efektif. Meskipun masyarakat cenderung menempuh cara mediasi, hasil akhir kesepakatan tidak diimplementasikan secara serius. Dari seluruh total kasus, 68% tidak berhasil mengajukan tuntutannya.
Afrizal juga menyebutkan bahwa upaya penyelesaian konflik baru harus dilakukan. Keterlibatan pemerintah diperlukan untuk membantu masyarakat mendapat hak atas tanahnya.
"Kami mengusulkan di tingkat provinsi, daerah, membentuk badan-badan untuk mediasi. Belum ada gerakan nasional untuk mendirikan itu. Kami mengharapkan pemerintah lebih peduli," ucapnya.
Perizinan Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pemerintah kepada perusahaan juga harus dengan asas keterbukaan. Ini untuk melihat sejauh mana dan apa-apa saja upaya perusahaan dalam mengelola tanah negara.
"Bagi kami penting untuk transparan. Kami mengharapkan pemerintah betul-betul mendorong perusahaan untuk memenuhi hak warga negara memperoleh persetujuan ketika tanah-tanah mereka dipergunakan untuk berbagai proyek. Indonesia lemah soal ini, perlu perbaikan," pungkasnya.